Cincin Kayu

125 13 0
                                    

Sifat kita adalah bawaan dari diri kita, tapi perilaku kita tergantung perilaku orang lain kepada kita.

***

Pagi kembali menyapa, Haura sudah bangun sejak jam 3 tadi. Seperti biasa ia memohon, mengadu, bersujud, dan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa satu-satunya Sang Pemilik Alam Semesta. Setelah beres-beres rumah, ia memasak untuk sarapan. Hanya omelet sederhana dan teh manis hangat menu sarapannya pagi ini. Ia memakan sarapan di sebelah jendela sambil melihat pemandangan kota di pagi hari. Masih cukup sepi, bahkan lampu-lampu jalanan banyak yang belum mati dan bintang fajar masih berpendar walau cahayanya sudah tak terang lagi.

Haura menyudahi sarapannya setelah menu pagi ini habis tandas. Ia membereskan piring dan gelas yang baru digunakan dan keluar dari rumahnya sambil mengucap bismillah, semoga hari ini tak ada lagi bahaya yang mengintai dirinya. Sebenarnya Haura masih sangat penasaran dengan kejadian kemarin sore, apa yang menyebabkan ia dikejar oleh seorang preman? Bukankah selama ia tinggal di kota ini ia tak pernah melakukan kesalahan kepada orang lain? Haura selalu bersikap manis dan menghargai orang-orang yang berbeda dengan dia bahkan ia tak pernah sekalipun melanggar peraturan pemerintah di negara ini.

Haura berjalan sambil menyatukan tangannya, dan baru ia sadari bahwa cincin kaokah yang biasa tersemat di jati tengahnya tidak ada. Haura berhenti sejenak di bawah pohon mapel, ia melihat ke arah jari tengahnya, di sana terlihat warna kulit lebih putih yang melingkar sebab terlalu lama memakai cincin.

"Di mana ku taruh cincinku?" Katanya lirih sambil mengingat-ngingat di mana terakhir ia melepas cincinnya. Cincin itu adalah cincin kaokah atau cincin kayu yang ia dapatkan dari teman yang pernah mondok di Tebung Ireng, Jawa Timur. Kata temannya cincin itu memiliki banyak manfaat terutama kesehatan dan cincin itu akan tetap wangi jika tidak dibawa ke kamar mandi jadi Haura selalu melepas cincin itu saat akan mandi ataupun berwudhu.

"Astaghfirullohal'adzim......" kata Haura panik saat ia ingat di mana ia meninggalkan cincin kayunya itu.

***

Suasana kediaman rumah Nyonya Emelda sudah ramai oleh para pekerja yang melakukan tugasnya masing-masing begitupun dengan beliau yang memilih menyirami bunga-bunga cantik di halaman belakang rumahnya. Sambil mengawasi anak bungsunya yang sedang berenang, beliau sesekali membenarkan letak pot bunga yang dirasa tidak pas dengan selera penataan Nyonya rumah itu.

Baginya, bunga adalah lambang cinta. Bunga bisa membuat orang bahagia melihatnya hingga jatuh cinta dengan kemolekan bentuk dan warnanya juga bau harumnya yang menyegarkan. Baginya, bunga adalah simbol kebahagiaan dan keceriaan, hidup akan bahagia dan ceria dengan siraman kasih sayang dan cinta hingga hati terasa segar dan tak mati karena layu.

Banyak hal yang beliau sukai terhadap bunga dan filosofinya bahkan sudah banyak buku pengetahuan yang dibaca hingga membuat beliau makin jatuh cinta dengan bunga.

"Ma...." terdengar suara bariton dari arah pintu, Nyonya Emelda langsung menolehkan wajahnya.

"Iya nak, ada apa?" Tanya beliau dengan lembut dan mematikan kran air yang sedari tadi menyala. Kent sudah rapi dengan stelan kantornya ia sangat gagah dengan jas hitam dan dasi merah yang menggantung di leher jenjangnya.

"Ini cincin siapa? Aku menemukannya di kamar tamu tadi malam saat aku tidur di sana," katanya sambil menunjukan cincin kayu bertuliskan huruf "HSZ" kepada ibunya.

"Mama tidak tahu," sambil melihat secara detail cincin itu. "Tapi, sebelum kamu datang memang ada tamu, seorang perempuan. Ah ya! Pelayan kedai eskrim itu, mungkin ini miliknya," kata Nyonya Emelda setelah ingat bahwa ada seseorang yang singgah di tempatnya.

"Apa? Pelayan kedai eskrim yang memakai jubah panjang itu?" Tanya Kent penasaran sekaligus kaget, kenapa wanita itu bisa berada di rumahnya kemarin, padahal ia sudah menyewa orang untuk membuntuti Haura tapi orang itu kehilangan jejak Haura.

"Iya benar, lalu ini tulisan HSZ mungkin inisial namanya. Kalau tak salah nama dia Haura." Ibu Kent masih memegang cincin itu tanpa mengembalikan ke anaknya, ia berniat akan mengembalikannya nanti siang.

"Haura? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu," gumam Kent lirih.

"Kenapa nak?"

"Tidak Ma, biar aku kembalikan cincin itu." Minta Kent kepada ibunya.

"Bukankah kau kerja? Biar Mama saja," tolak Nyonya Emelda.

"Tak apa, sebentar saja," kekeuh Kent dan akhirnya mau tidak mau Nyonya Emelda memberikan cincin itu kepada Kent meski beliau agak khawatir mengingat perkataan Kent waktu itu saat bertemu dengan Haura.

Kent keluar dari rumah setelah berpamitan dengan ibunya, ia memasuki mobil dan menjalankan mesin mobil melesat ke arah suatu tempat. Bukan kantor, bukan kedai eskrim tapi tempat perhiasan. Dia berniat membeli kotak perhiasan untuk menyimpan cincin itu sementara sebelum kembali ke pemilik aslinya. Kent memilih kotak berwarna hitam yang terlihat sangat mewah dan menyimpan cincin itu di dalamnya. Kent kembali memasuki mobil dan ia menghubungi seseorang.

"Hentikan dulu pencarianmu terhadap wanita itu, tugasmu selesai sampai di sini nanti upahmu akan aku transfer sesuai perjanjian awal," katanya kepada seseorang di seberang sana tanpa basa-basi dan langsung menutup telepon setelah selesai berkata.

Kent menjalankan mobilnya, kini yang ia tuju adalah kantornya bukan kedai eskrim tempat Haura bekerja. Tidak. Tidak secepat itu Kent mengembalikan cincin milik Haura, sebab ia punya rencana lain untuk mengorek informasi tentang wanita berjilban panjang itu.

Sampainya di kantor, Kent mendaratkan tubuhnya di kursi besar miliknya dan ia menempatkan kotak cincin itu di meja kerja bersebelahan dengan berkas-berkas penting nyawa dari perusahaan yang ia kendalikan. Kent mencari kertas dan bolpoint lalu menggoreskan tinta hitam itu di atas kertas putih hingga tersusun beberapa kalimat dan jadilah sebuah surat. Ia menuliskan nama sang penerima beserta alamatnya, namun ia tak menulis nama pengirim apalagi alamatnya. Kini ia akan menjadi sosok misterius yang mencoba membuat seseorang penasaran kepadanya.

Kent melihat ke arah kotak cincin itu, ia tersenyum samar. Ada banyak hal yang bersarang di pikirannya dan ia sungguh tertantang untuk menyudahi masalah-masalah yang membuatnya pusing itu.

***

Hari semakin sore, kedai eskrim juga semakin sepi beberapa jam lagi kedai akan tutup. Kali ini tutup lebih cepat karena bahan-bahan untuk membuat eskrim sudah habis lagi. Memang terhitung sangat cepat sekali, padahal baru lima hari yang lalu mereka belanja besar untuk membuat eskrim namun nyatanya eskrim sangat laku di musim panas kali ini. Dan kedaipun besok akan tutup sebab besok baru mulai belanja dan pembuatan eskrim kembali. Haura masih mengelap meja-meja bekas pelanggan yang baru saja pergi, hari ini fikirannya tidak terlalu fokus sebab cincinnya tertinggal di rumah Nyonya Emelda atau rumah Kent de Tracy laki-laki yang sangat Haura benci dan hindari.

Sangat malas sekali jika ia kembali ke rumah besar itu untuk mengambil cincinnya, namun itu adalah cincin kenang-kenangan dari sahabatnya mungkin saat ia bertemu Karel nanti ia akan minta anak itu mengambilkannya, semoga masih ada.

"Haura," sapa Ostin di sebelah Haura hingga lamunannya tentang cincin berhenti.

"Ya," jawab Haura sambil memandang Ostin.

"Ada surat untukmu," menyerahkan amplop putih kepada Haura.

"Untukku? Dari siapa?" Tanya Haura penasaran, kenapa ada surat dikirim ke tempatnya bekerja, bukan ke rumahnya saja?

"Tidak ada nama pengirimnya, mungkin di dalam surat ada," Ostin lalu pergi kembali berjaga di depan bar.

Haura membawa surat itu dan menaruhnya di tas. Ia tidak akan membacanya di sini, ia takut isi surat ini bukanlah hal yang menyenangkan jadi lebih baik ia membacanya di rumah nanti, lebih aman juga.

[ZSS 3] Cinta di Langit Amerika (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang