Pagi yang Ceria

88 11 2
                                    

Pagi kembali menyapa, Haura sedang membereskan tempat tidurnya sedangkan teman-temannya masih berada di luar kamar. Haura bershalawat lirih sambil mengerjakan pekerjaannya, hari ini cukup membuatnya bahagia sebab baru saja ia mendapatkan telfon dari ibu dan adiknya di kampung. Meskipun lebaran kali ini Haura belum bisa berkumpul dengan mereka, namun Haura tetap bahagia karena semua keluargnya sehat dan diapun juga sehat. Haura tak pernah bersedih, sebab ia tahu tujuannya di tempat sekarang ini, jauh dari orangtua untuk menuntut ilmu dan membahagiakan mereka tentunya.

Saat sedang membuka jendela, Haura melihat sosok pria yang sedang melihat ke arah jendelanya, pria yang sama dengan semalam. Haura cukup kaget, untuk apa laki-laki itu melihat ke arah jendela kamarnya. Haura tersenyum singkat, lalu beralih ke sisi lain kamarnya. Tidak lagi memandan ke luar jendela. Haura kini mengambil pakain kotor, dan membawanya keluar untuk di laundry. Sebenarnya bisa saja Haura mencuci sendiri, namun kondisi tempat jemuran yang tidak terlalu luas membuatnya tidak nyaman untuk menjemur pakaian di sini, jadi ia putuskan untuk menlaundry saja. Teman-temannyapun demikian.

Haura keluar kamar dengan plastik berisikan baju kotornya, tempat laundry tidak jauh bahkan panitiapun menyediakan jasa laundry jadi Haura mengantarkannya ke sana. Mengantarkan pada Nyonya Emilia, yang merupakan salah satu pengurus masjid juga. Haura bertukar sapa dengan wanita tersebut, cukup lama hingga ada yang memanggil namanya.
"Haura!" Nadin memanggil Haura yang sedang bercengkerama dengan Nyonya Emilia. Perempuan itu mendekat ke arah Haura sambil tersenyum lebar, seperti biasa dia memang selalu ceria.

"Assalamualaikum," sapa Nadin saat menghampiri keduanya.

"Waalaikumussalam, " jawab Haura dan Nyonya Emilia.

"Ada apa Nadin, sepertinya kamu bahagia sekali, " tanya Haura sambil tersenyum di balik cadar hitamnya.

"Ini ada yang mengantar surat untuk kamu, di amplop tertulis atas nama Nenek Aminah," Nadin mengangsurkan amplop putih itu kepada Haura.

"MasyaAllah, syukron ya, " Haura menerima dengan senang. "Aku sangat rindu dengan Nenek Aminah."

"Nenek Aminah itu siapa? " tanya Nadin.

"Tetangga flatku, seorang Nenek dari Boston dan sudah ku anggap sebagai Nenekku juga, " jawab Haura.

"Dia tinggal bersama siapa? " Nyonya Emilia menimpali.

"Sendirian, anak-anaknya sudah berumah tangga dan memiliki rumah sendiri-sendiri. Nenek Aminah bekerja menjahit baju-baju muslim"

"Kasian sekali, apakah tidak ada yang menjaga? "

"Tidak, beliau sendirian saja. Aku biasanya menengok dia, namun sekarang aku sedang jauh jadi tidak bisa. Setelah lebaran nanti aku akan kembali ke tempatku dan menemani Nenek Aminah. "

Setelah mereka bertiga menyelesaikan percakapan, Haura kembali ke kamarnya untuk membuka surat dari Nenek Aminah. Haura mengambil posisi duduk di atas ranjang, namun kali ini tidak menghadap ke jendela ia takut masih ada laki-laki yang memandang ke arah jendela kamarnya. Dengan perlahan Haura membuka amplop putih itu, ah sungguh dia sangat rindu. Apakah Nenek selalu sehat?  Apakah puasanya lancar? Dan apakah anak-anaknya ada yang mengunjunginya?  Haura jadi menyesal kenapa dia malah pergi jauh dan meninggalkan Nenek malang itu sendirian.

Saat membuka amplop, Haura menemukan dua lembar kertas. Haura memilih salah satu terlebih dahulu, ia membacanya isi surat dari Nenek Aminah.

Assalamualaikum, anakku Haura. Apa kabar kamu di sana?  Sudah lama kamu pergi dan tak mengunjungiku, di sini aku kesepian, aku sendirian, aku ingin berbicara bersamamu lagi dan minum teh di sore yang cerah.

Sabtu kemarin, kepalaku terasa pusing dan aku memutuskan untuk membeli obat. Namun, kepalaku menjadi sangat pusing saat aku sudah di tengah perjalanan. Aku duduk di tepi jalan, samb berharap Allah mengirimkanmh pulang untuk membantuku, namun Allah punya rencana lain Dia kirimkan seorang pemuda baik hati yang menolongku. Sungguh, pemuda itu sangat baik sekali.

Kemudian aku diantarkannya ke toko obat, bahkan dia yang membayarkannya. Aku sudah menolak, dan aku bilang bahwa aku juga mempunyai uang, namun pemuda itu tetap membayarkan obatku. Ah, Haura dia sepertimu, sangat baik sekali.

Setelahnya, aku juga diantar pulang olehnya menggunakan mobil, mobilnyapun sangat mewah, warna hitam mengkilat. Aku diantar sampai ke dalam rumah.

Haura cukup terharu atas isi surat dari Nenek Aminah.

Lalu aku ditanya, kenapa bisa jalan sendirian dan ke mana orang-orang di rumah ini.

Haura kembali melanjutkan membaca isi surat dari Nenek Aminah.

Aku sedih sekali, aku lalu menceritakan bahwa aku tinggal sendiri dan kadang kala ada perempuan cantik yang menemaniku bernama Haura, namun perempuan itu sedang menuntut ilmu.

Haura meneteskan air matanya, ia benar-benar merasa bersalah karena meninggalkan Nenek Aminah.

Lalu keesokan harinya, pemuda itu datang kembali dan aku bercerita panjang lebar dengan dia tak lupa aku selalu menyelipkan namamu dalam setiap kisah. Dan, saat dia hendak pulang aku memintanya untuk mengirimkan surat ini. Sungguh baik pemuda itu.

Kau hati-hati di sana anakku, kalau sudah selesai maka kembalilah dan temani aku di sini aku benar-benar merindukanmu.

Salam sayang, Aminah.

Haura menyeka air mata yang menetes dari sudut matanya, ia juga merindukan Nenek Aminah. Tidak seharusnya ia meninggalkan Nenek tua itu sendirian, namun Ramadhan juga sebentar lagi akan berakhir setelahnya Haura akan kembali dan menemani Nenek Aminah.

Setelah selesai membaca surat pertama, Haura melipatnya secara rapi kembali dan mengambil surat yang kedua. Kertasnya sama, putih. Haura membukanya dan seketika Haura merasa tercengang dengan isi surat itu.

Nenek tua itu merindukanmu, aku juga. Cepatlah kembali.

Kent

Demikian isi surat yang kedua, hanya dua kalimat yang sangat jelas. Dan pengirimnya adalah Kent, tentu saja yang menolong Nenek Aminah adalah Kent karena di suratpun Nenek Aminah menyebutkan bahwa pemuda yang menolongnya yang mengirimkan surat tersebut.

Haura semakin cemas, ia takut berhadapan dengan lelaki itu, sungguh ia sangat takut namun disisi lain ia sangat merindukan dan mengkhawatirkan Nenek Aminah dan setelah libur musim panas ia juga harus melanjutkan studinya.

Laahawlaa walaquwwata illabillah

Haura menghembuskan nafas cemas, ia bingung harus bagaimana.

"Assalamualaikum, Haura" Nadin masuk ke kamar, Haura langsung membereskan surat-surat tersebut ia tidak mau Nadin megetahui isinya.

"Waalaikumussalam, Nadin"

"Apakah kamu sedang membaca surat tadi? "

"Iya, baru saja aku selesai membacanya"

"Kenapa?  Kamu sepertinya sedih, " ternyata Nadin mengetahui ekspresi dari manik mata Haura.

"Nenek Aminah kemarin sakit, dan dia bilang bahwa sangat merindukan aku, " lirih Haura.

"Kasian sekali, lalu bagaimana keadaannya sekarang? "

"Sudah membaik, ada orang baik yang menolongnya"

"Alhamdulillah, syukurlah. Oh iya,  ini ada bingkisan juga mungkin dari Nenek Aminah karena satu paket dengan surat tadi. Satpam di depan tadi lupa memberikan," Nadin memberikan kotak berwana silver yang diberi pita merah kepada Haura.  Haura bimbang, benarkah ini dari Nenek Aminah?  Atau laki-laki itu?

"Terimakasih, Nadin"

"Sama-sama," Nadin tersenyum manis. Haura takut kalau Nadin ingin mengetahui isinya.

"Ah,  ya aku mau sholat dhuha dulu apa kamu sudah sholah dhuha? " Haura mengalihkan pembicaraan, sungguh ia takut jika isi bingkisan itu dari Kent dan isinya hal-hal yang tidak pantas.

"Belum, mari ke masjid. Tadi aku dengar dari Akhy Reyhan hari ini akan diadakan kompetisi murrotal bagi anak-anak kecil pasti seru sekali. Sehabis sholat kita lihat ya, " ajak Nadin dengan antusias.

Haura hanya tersenyum dan mengangguk, lalu mengambil mukena dan menggandeng jemari Nadin. Dalam hati ia berdoa, semiga mentari akan tetap bersinar cerah di musim panas ini. Begitu pula hatinya, semoga tak ada mendung yang menimbulkan badai. Aamiin.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[ZSS 3] Cinta di Langit Amerika (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang