Awal Musim Panas II

237 16 0
                                    

Matahari mulai merangkak naik ke tengah-tengah langit. Musim panas hari ke 3 cukup menguras tenaga. Haura yang sudah merasakan musim panas saat awal-awal di Amerika tetap merasa kelelahan, tapi ia tetap akan bekerja keras untuk bekerja selama musim panas, 4 bulan ke depan.

Di saat seperti ini, ia sangat rindu rumahnya. Rumah sederhana dengan suasana yang begitu asri dan nyaman, dengan latar belakang perkebunan teh dan suhu yang hampir stabil setiap saatnya. Bandung. Kota kembang yang banyak menawarkan keindahan. Ah, dia jadi rindu Ibunya. Siang-siang seperti ini, biasanya sang ibu memasak sayur asem dan menggoreng bakwan. Sudah 1 tahun dia tidak berjumpa dengan wanita perkasa itu. Hanya suara sang ibu yang dapat ia dengar saat hendak tidur pada malam hari.

Waktu istirahat bagi para pegawai kedai eskrim. Kedai tidak ditutup, waktu istirahat dilakukan secara bergantian. Haura mendapat waktu istirahat pertama ia yang memintanya karena harus menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim untuk sholat dzuhur.

Awalnya teman-temannya merasa kaget dengan tingkah Haura yang beribadah di tempat kerja. Haura menggelar sajadah dan mengenakan mukenanya dan kemudian bersimpuh di ruang 5x5 yang biasa digunakan untuk bersantai sejenak bagi para karyawan.

"Haura, apa tidak apa-apa kau melakukan ibadah di sini?" Tanya Ostin, seorang Kristen Koptik

"Tak apa Ostin, dalam agamaku memang lebih utama melaksanakan ibadah di masjid, tetapi dalam keadaan seperti ini, aku yang hidup di negara minoritas akan sulit menemukan masjid dan apalagi aku sedang bekerja dan seorang perempuan. Islam tidak menyulitkan umatnya dalam hal ibadah. Asal tempat itu suci dari hadas, itu sah-sah saja" jawab Haura. Dia memang seperti itu, selalu menjawab dengan lembut setiap pertanyaan teman-temannya dalam segala hal yang bekaitan dengan islam. Ia tak mau melukai perasaan orang lain yang berbeda dengan dirinya. Ia juga harus bisa menyusun kalimat seindah mungkin agar setiap perkataannya mudah terserap dengan baik.

Setelah melaksanakan sholat dan istirahat sebentar, perempuan berkerudung biru cerah itu kembali ke tempat kerjanya bergantian dengan rekan yang lain.

Musim panas sangat menyenangkan, banyak anak-anak yang terlihat di setiap taman kota menghabiskan masa-masa liburan mereka. Ada remaja laki-laki yang bermain sketboard, ada remaja perempuan yang bergerombol sambil asyik membaca majalah, dan banyak anak kecil yang berlarian ke sana ke mari sambil memakan es krim.

Haura yakin, jika adiknya di ajak ke sini pasti akan senang. Dulu Amir, adik satu-satunya itu pernah bercerita bahwa ia ingin sekali menikmati 4 musim yang tidak ada di tanah kelahirannya, Indonesia. Haura ingin sekali mengajak adik laki-lakinya itu untuk berlibur ke negara yang memiliki 4 musim. Mungkin suatu saat nanti, saat ia sudah menjadi orang yang sukses dan punya banyak uang.

Sekali lagi, angin berhembus mengibarkan krudung panjang wanita itu, di kanan kiri kedai, ada ventilasi yang membawa angin itu masuk. Haura menghela nafas, awal musim panas kedua cukup menyesakan tapi ia harus kuat, karena tahun depan ia tak akan mengalaminya lagi karena tahun ini studynya akan selesai.

"Kring" bunyi lonceng di atas pintu terdengar jelas, menandakan bahwa ada seseorang masuk.

"Good day, mau eskrim rasa apa?" Tanya Haura sopan.

"Cokelat" jawabnya singkat.

"Oke, please wait" Haura langsung meracik pesanan anak laki-laki di depannya. Entah kenapa mukanya sangat kusut, padahal anak laki-laki seusia dia; yang diperkirakan 10 tahun sangat senang bila libur musim panas tiba.

"Eskrim cokelat spesial untukmu, silahkan dinikmati semoga hari-hari liburmu menyenangkan" kata Haura dengan bahasa inggris santai.

Anak itu menerima eskrim dan membayarnya. Tapi ia tidak langsung beranjak, melainkan masih duduk di tempat tunggu sambil menyendok eskrim ke mulutnya. Haura bingung, ia mencoba mendekati anak malang itu.

"Hi boy, kenapa kau terlihat sedih?"

Dengan malas anak itu menjawab. "Aku ingin pergi berlibur, tapi Kakakku tak mengizinkan dia selalu sibuk bekerja"

"Oh aku sangat sedih mendengarkannya. Lalu, kenapa kau tak mengajak ayah ibumu?"

"Ayahku sudah meninggal saat umurku 8 tahun, sedangkan ibuku masih trauma menaiki pesawat. Itu karena mereka pernah kecelakaan pesawat yang menyebabkan ayahku meninggal" anak itu menunduk dalam, setitik air matanya meluncur bebas dari pipi putihnya.

"Maafkan aku, aku benar-benar tidak tahu dan aku menyesal telah bertanya kepadamu" Haura ikut simpatik melihat anak sekecil ini telah ditinggal mati sang ayahnya. Padahal ayah adalah orang pertama yang dijadikan panutan, apalagi bagi seorang laki-laki. Sungguh ia tidak dapat membayangkan jika dia dan adiknya ditinggal mati oleh sang Ayah.

"Sudah tak masalah, terimakasih untuk eskrimnya aku pulang dulu" Anak laki-laki itu pergi dan meninggalkan cup eskrim kosong di depan Haura.

***

Hari sudah mulai beranjak sore, tapi suasana masih terlihat sangat terang. Jam kerjanya sudah habis, ia pulang bersama karyawan yang lain juga. Haura pulang ke arah flat sederhana tempatnya tinggal. Suasana sore hari kota Massachusetts cukup ramai karena ini merupakan jam pulang kerja. Tapi ketahuilah, meskipun begitu di kota ini tak akan macet seperti di Jakarta ataupun Bogor. Polusi udarapun tak terlalu banyak, hanya debu-debu tanah yang beterbangan seirama dengan hembusan angin sore.

Seperti biasa, Haura berjalan santai melewati trotoar jalan. Di sana juga banyak tersedia kursi-kursi untuk duduk bersantai. Haura melihat seorang perempuan tinggi dengan gamis panjang dan krudung pasmina berwarna maroon sedang duduk di salah satu kursi sambil memegang cup berisi es.

"Assalamu'alaikum Elif, sedang apa kau sendirian di sini" Kata Haura menghampiri wanita itu. Elif adalah tetangga flatnya yang menempati flat di lantai 2 sedangkan dia di lantai 3. Elif merupakan muslimah asal Turki yang juga menempuh pendidik se almamater bersama Haura.

"Wa'alaikumsalam Haura sayang, aku tadi berjalan-jalan sebentar lalu duduk untuk menikmati es ini sambil memandang langit sore kota Massachusetts saat musim panas" senyumnya merekah. Wanita itu benar-benar cantik, khas orang Timur Tengah.

"Sepertinya menyenangkan" Haura ikut bergabung duduk di sebelah Elif.

"Tentu, sesekali kita harus merasakan apa yang ada di sekitar kita" Elif tersenyum, Haura juga demikian.

Mereka diam, hingga pandangan mereka tertuju kepada seorang nenek-nenek di seberang jalan yang sedang kebingungan. Sepertinya dia bingung bagaimana cara menyebrang, karena di jalan banyak sekali kendaraan yang sedang melaju. Haura dan Elif saling bertatapan seolah mereka bertanya apakah mereka akan membantu nenek itu atau tidak. Kemudian saat tatapan mereka terputus dan hendak beranjak dari kursi itu, mereka melihat bahwa ada seorang pemuda yang membantu nenek tersebut menyebrangi jalan. Haura dan Elif tercengang, akhirnya ada seorang pemuda Amerika yang bain hati mau membantu seorang nenek tua yang renta.

"Sungguh mulia hati laki-laki itu" kata Elif tersenyum bangga.

Sedangkan Haura, ia bingung benarkah yang dikatakan tetangga flatnya itu? Benarkah pemuda itu baik? Sepertinya tak semua yang dilihat mata sesuai dengan keadaan yang tak terjangkau penglihatan.

[ZSS 3] Cinta di Langit Amerika (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang