Chapter Pertama

38.4K 1K 24
                                    

بسم الله الرحمن الر حيم

"Ketika keadaan mengharuskan untuk menangis, tak semua air mata berarti lemah, "


●_● ●_● ●_●

Suara Adzan Subuh membangunkanku dari tidur yang cukup nyenyak walau udara rumah sakit yang terasa sangat dingin di jam seperti ini, tetap tidak mengurungkan niatku untuk bangun dan berwudu. Aku menjauhkan selimut yang tadinya melekat di tubuhku kemudian berdiri dan memperbaiki jilbab yang bentuknya sudah tidak teratur lagi mungkin karena aku terlalu banyak gerak saat tidur.

Aku bangkit dari tempatku tadi kemudian mengambil nafas panjang. alhamdulillahil ladzi ahyana ba'da ma amatana wailaihin nusyur .

Ayah menatapku sambil tersenyum di atas kasur rumah sakit, dia terlihat sangat tegar dengan wajah tuanya walau sekarang keadaan beliau sedang memprihatinkan. Ayah mengalami penyakit hipertensi. Penyakit hipertensi sendiri merupakan salah satu faktor resiko penyakit jantung yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah di atas ambang normal. Jika dibiarkan terus naik penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ lainnya seperti jantung dan ginjal, yang kemudian memicu komplikasi, "Ayah wudu dulu ya?," ajakku sambil tersenyum yang dibalas anggukan oleh ayah. Setiap hari aku memang selalu mengantar ayah untuk wudu di Mushollah kemudian menemaninya salat di ruangan, setelahnya aku baru bisa salat.

Kami berdua berjalan menjauh dari kasur tempat ayah tidur tadi. Ayah memegang tanganku erat-erat dengan pandangan fokus ke depan kemudian berkata, "Kalau sudah ganti pakaian ayah dan wudu kamu terus saja ke mushola di depan ruangan ini ya, biar ayah masuk sendiri saja," ucapnya dengan suara lembut khasnya.

Aku tersenyum. "Siap Ayah." Kebetulan ayahku seorang anggota TNI jadi kalau berbicara seperti tentara, itu semua dari ayah.

Sesampainya di mushola ayah masuk ke WC untuk mengganti pakaiannya menjadi pakaian layak pakai untuk salat. Setelah selesai mengganti pakaian ayah kemudian berwudu sambil duduk, ayah belum sanggup seutuhnya untuk berdiri lama-lama.

"Adibah antar Ayah saja dulu," ajakku untuk mengantar ke ruangan di mana ayah dirawat. Soalnya ini pertama kalinya aku meninggalkan ayah sendiri di ruangan itu.

"Udah mau iqamah nak, cepat sana masuk, " perintah ayah, yang mulai menjauh dariku.

"Ayah," panggilku sambil berlari mengejar ayah yang sudah agak menjauh. "Anter ayah gak sampai berjam-jam juga kan buat sampai di ruangan ayah, jadi Dibah antar ayah dulu,"bujukku alhamdulillah diterima oleh ayah.

"Yaudah pergi sana salat nak," perintah ayah setelah sampai ruangan. Kebetulan ayah salatnya berbaring jadi aku tidak perlu terlalu khawatir dengan keadaan ayah nantinya.

"Jaga diri ayah baik-baik ya, yah. " Aku berlari menuju mushola untuk salat walau sebenarnya aku sudah tertinggal satu rakaat salat subuh hari ini.

Aku berharap setelah salat subuh nanti keajaiban datang membuat ayah kembali membaik seperti dulu dan bisa beraktivitas lagi. Selama tujuh hari berada di rumah sakit aku harus pulang balik dari sekolah ke rumah sakit Fatimah yang terlalu jauh jaraknya. Terkadang aku kasihan kepada ayah tapi mau bagaimana lagi aku cuma bisa membantu seperti ini terus kalau bisa hidupku bagi dua dengan ayah sehingga aku bisa melihatnya hingga akhir hayatku. Tapi sayang itu mustahil apa pun yang terjadi mau tidak mau harus bisa disetujui walau terkadang hal itu sangat menyakitkan.

Dear Imamku (Completed√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang