Chapter Ketiga

22.8K 822 7
                                    

بسم الله الرحمن الر حيم


"Taqdir itu dinikmati bukan diubah"

●_●●_●●_●

Kebetulan di kamar ini sudah ada baju seragam sekolah jadi aku bisa langsung berangkat ke sekolah tanpa ke rumah lagi. Hari pertama tanpa ayah. Jangan lemah Adibah ayah pasti bahagia lihat kamu sekarang, dia yakin kamu pasti kuat.

Di kamar ini sudah lengkap akan semuanya, bahkan hal yang tidak aku butuh kan sudah ada di sini semisal alat make up bahkan ke sekolah aku tidak pernah menggunakan alat-alat itu. Kata ayah, wajahku masih sangat mudah untuk alat-alat seperti itu.

Entah berapa kaya dokter itu hingga kamarnya harus semegah ini. Bahkan kamarku saja tidak seperti ini, kalau di perkirakan kamarku tiga kali lipat dari ini, saking luasnya sekelas bisa tinggal di kamar ini.

Saking luasnya membuatku tidak bisa tidur nyenyak. Mungkin karena masih baru biasanya ayah selalu masuk untuk menghiburku, menceritakan bidadari yang belum pernah aku lihat selama ini, bidadari yang sangat sempurna di mata ayah. Ya ibuku kata ayah wajahku dan ibu hampir mirip jadi kalau aku ingin melihat ibu lihat saja wajahku. Ayah selalu menceritakan itu hingga aku tertidur.

Setelah semuanya siap aku tidak tahu harus apa lagi. Ini kali pertamanya aku kesini, jalan ke sekolah aku tidak tahu, bahkan uang sepersen pun tidak ada. Bagaimana ke sekolah? Hp ada, pulsanya yang tidak ada.

Tok! Tok! Tok!

Seseorang kini mengetuk pintu kamar. Aku langkah kan kakiku menuju sumber suara tersebut hingga menampilkan sosok dokter itu yang sedang berdiri.

Dia tersenyum. Apa pipiku tidak memerah saat ini? Kuharap tidak.

"Mau ke sekolah? " bodoh sudah lihat saya memakai seragam sekolah jelas saja mau.

"Iya mau. Sudah jam tujuh sekarang pastinya kelas sudah mulai, " kataku cemberut.

"Tapi... Bagaimana ya? " Dia diam terlihat kalau dia ingin mengatakan sesuatu. "Hari ini pernikahan kita kan? "

Deg.

Aku sampai lupa akan hal itu. Kalau bersamanya aku bisa saja berpenyakit jantung. Tak apa setidaknya aku bisa bertemu dengan ayah secepatnya.

"T... Tapi," ucapku gugup.

"Kenapa? "

Serasa ada sesuatu yang membisik. 'Kamu harus mau Dibah! Ini karena ayahmu. Nikahi dia. Kemarin kamu sudah janji ke pak dokter itu. ' Ya Allah takdir apa yang kau tuliskan untukku?

Aku tersenyum, Bismillah. "Enggak, lupakan Pak, sekarang kan? Maaf tadi lupa jadi gak siap-siap dulu, " ucapku menormalkan mimik wajah.

Aku tidak sengaja menangkap rasa bahagia pada dirinya. Apa dia bahagia menikah denganku? Atau dia tersenyum hanya karena hal lain? "Yaudah kita langsung pesan baju saja dan sorenya baru akadnya akan dimulai. "


"Jadi Dibah ganti baju dulu atau pakai ini saja Pak Dokter? "

Dia mengangguk. "Iyalah masa ke butik dengan pakaian seragam. Entar dikiranya saya menculik kamu." Dia tertawa.

"Tapi, Pak Dokter memangnya kalau ke butik pakaiannya langsung jadi? Dibah kira harus nunggu dulu."

"Kita beli yang langsung jadi saja dulu. Entar kalau sudah resepsinya baru jahit. Sekarang baru akad nikahnya jadi tidak usah terlalu megah. "

Dear Imamku (Completed√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang