Di hari tua, aku takut menjelma kekasih yang tidak sempat pamit. Tulang belulang yang menemukan saudara lamanya dengan segala bakteri pada tanah. Berharap waktu cepat menghancurkannya untuk berpeluk menjadi satu. Kau akan mengenangku dengan doa pada bunga-bunga mati. Yang kau harap dapat menghidupkanku kembali. Atau waktu tumbuh akrab bersama alzheimer yang membuatku mati dua kali. Di bumi dan memori. Aku takut menjelma tunawisma yang terbengkalai di hatimu, lenyap begitu saja tanpa doa-doa.
Di hari tua, pohon-pohon jati menjulang tinggi. Mungkin cita-citanya bermain ke surga. Semuanya mengingatkan kita betapa lamanya waktu menguji. Jati yang semakin kuat namun tetap menggugurkan dirinya. Kita yang semakin lemah namun tetap menguat cintanya.
Bapak-bapak pos yang biasa mengantar surat anak-anak kita lebih dulu mati. Entah apakah kantor itu akan meledak, sebab rindu tertimbun begitu lamanya di sana. Atau kuledakan sendiri jika kulihat tidak sepucuk surat pun mengantre.
"Mungkin mereka sedang sibuk." Kata-kata kau, walau memecah sepi, tetap saja tidak bisa menghiburku. "Iya mungkin mereka sibuk memikirkan bagaimana untuk hidup. Dan—kita masih saja sibuk memikirkan jika salah satu mati." Ucapku sedikit ketus.
Di hari tua, kita bercanda di pekarangan yang tidak sengaja tumbuh. Entah air mata milik siapa yang memelihara mereka. Padahal matanya tidak sembab. Tapi aku tetap enggan bercermin.
"Sedang apa?"
"Kemarilah, kekasihku."
"Bicaramu itu, seperti anak muda saja."
"Sudah berapa kali aku katakan, panggilan kekasih itu akan melekat sepanjang masa. Tidak terikat oleh waktu."
"Iya iya, ada apa?"
"Aku ingin membacakanmu sebuah puisi." Aku berdiri sambil menghadapnya yang sedang duduk di kursi kayu.
Kau, sebuah nama yang selalu menyempatkan tumbuh. Pada hari-hari yang bahkan, aku, lupa akan diri sendiri. Bahkan pekaranganku
kau memilih tinggal di sana. Menjadi belukar yang mencari perhatianku. Lalu aku akan sibuk seharian bersamamu. Begitulah rupamu, sebuah nama yang tak direncanakan. Memenangkan hatiku.
Kau, sebuah nama yang selalu menyempatkan tumbuh
Menjadi belukar rindu yang menancap kuat mengakar
Seluruh tubuhku selalu ingin diam di sana, menjangkar.
"Bagaimana?" Tanyaku sembari memegang pinggul dengan kedua tangan
"Perasaan, aku pernah mendengar puisi itu. Kau mencontek puisi siapa lagi?"
"Hah? Kenapa kau selalu tidak percaya aku bisa menulis puisi?"
"Nah kan, aku pernah mendengar itu kemarin."
"Mendengar apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Terus Terang
PoetrySetiap kata adalah perang melawan diri sendiri. Hal yang paling jujur. Terkadang tidak kita inginkan, tapi itu adalah diri kita yang sebenarnya.