CHAPTER 16. A MAN'S HEART

1.3K 104 40
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Bukankah kewajiban dan hak seorang lelaki ... membahagiakan wanita yang ia cintai?

-Ellio

Aku menatap Clara dari balik rak buku saat ia berhenti untuk mengusap air matanya dan menarik napas panjang. Gadis itu berusaha memasang senyum di wajahnya sebelum melangkah meninggalkan perpustakaan.

Ada rasa perih di dadaku melihat kanaya-ku menangis karena sikapku. Ingin rasanya aku berlari mengejarnya dan meminta maaf atas semua kata-kataku tadi, tetapi aku teringat akan risiko yang akan ia hadapi kelak jika bersamaku dan juga masalah yang akan dihadapi papa nantinya bila masa lalu kanaya-ku terkuak. Aku tidak mau egois. Clara lebih aman jika tak memiliki hubungan denganku.

Menghampiri jendela, aku memandangi Clara dan teman-temannya bersama Gregory meninggalkan kastel.

Hari pertama kanaya-ku berkunjung, semestinya menjadi saat-saat istimewa. Namun, aku malah menyakiti hatinya.

***

"Doshe omra, Ellio?" tanya Benjamin ketika aku mendatangi kamarnya.

Dia mencoba menarik tubuhnya dan menyandar pada sandaran tempat tidur.

"Kau jangan banyak bergerak dulu. Kakimu belum pulih," tegurku.

Adikku mendengkus. "Jangan mengalihkan pembicaraan. Katakan padaku. Kenapa Clarabelle tampak sedih setelah bertemu denganmu? Aku bisa membaca apa yang ada di pikirannya, Ellio. Dia terluka karenamu. Apa yang kau lakukan?"

Aku terdiam sejenak. "Semalam ketika kau masih tak sadarkan diri, Terra memberitahu sesuatu tentang Clara," gumamku seraya menyandarkan tubuh pada dinding dan memasukkan kedua tangan ke saku celanaku. Menghela napas, aku memejamkan mata sebelum membukanya lagi dan memandangi langit-langit kamar adikku.

"Sesuatu tentang Clara? Maksudmu?"

Aku menatapnya. "Dia tak seperti yang kita kira. Entahlah, aku bingung, Benjamin."

Adikku menaikkan satu alisnya seraya memandangku. "Kau biasanya selalu mampu berpikir bijak dari pada aku. Kenapa kau mudah sekali risau tentang kanaya-mu? Sedikit banyaknya ia memberi pengaruh padamu, bukan?"

Aku menghela napas. "Aku tak tahu apa yang kurasakan. Aku sungguh menyukainya. Bahkan, aku mulai serius dengannya. Tapi, apa yang kudengar dari Terra mengacaukan pikiranku. Aku ingin melindunginya, tetapi di sisi lain aku marah karena ia telah berbohong padaku. Ia merahasiakan dirinya dariku."

Benjamin tertawa. Aku menoleh dan menatap heran padanya.

"Kenapa kau malah tertawa?"

"Kau lucu, Ellio. Kau bersikap seolah-olah kanaya-mu melakukan kesalahan ketika kalian berhubungan selama bertahun-tahun, tetapi kenyataannya dia bahkan belum menjawab pernyataanmu. Kau saja belum menyatakan hubungan kalian secara resmi. Bagaimana bisa kau menyalahkan dia menyimpan rahasia tentang dirinya darimu?"

Aku terpaku. Netraku mengerjap. "Tetap saja, ia berbohong saat kutanya soal siapa orangtuanya."

"Kau yakin dia sungguh berbohong, atau karena ia memang tidak tahu tentang kebenarannya?"

Aku tertawa tanpa suara. "Kau tidak mengerti, Benjamin."

"Lalu, buatlah aku mengerti, Ellio. Rahasia apa yang membuatmu marah padanya? Siapa orangtuanya?"

Aku diam tak menjawab.

"Kau lihat, Ellio? Kau pun bahkan menyimpan rahasia dariku. Apa aku berhak untuk mengatakan kau berbohong padaku?"

THE BLUE ALVERNS-Book 2 (completed)SUDAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang