4. HEAD VS HEART

2K 212 30
                                    

Cinta itu bukan seperti kata 'halo' yang bisa kau ucapkan pada siapa saja. Cinta tidak semurah itu. (Ellio Alcander Custodio)

Kau akan kehilangan ketika kau memilih menggunakan otakmu daripada hatimu. (Benjamin Aryano Custodio)

"Ellio!" Aku tersentak dari lamunan, ketika mendengar suara teriakan papa memanggilku dengan keras. Keningku berkerut. Bergegas bangkit dari king-sized bed, melangkah keluar dari kamar bernuansa putih dengan dekorasi klasik untuk menemuinya.

"Papa memanggilku?" tanyaku. Kulihat wajah sang Czar Alvern putih itu merah padam dengan napas memburu di ruang utama kastel yang bernuansa batu alam. Lelaki yang tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku dan masih setia memakai tunik panjang itu mengepalkan kedua tangannya.

"Kau tahu tadi aku berbicara dengan siapa?" tanyanya dengan setengah menggeram. Aku mengerutkan kening. Mana aku tahu? Namun, aku tidak akan bertindak konyol dengan menawarkan kematianku di tangan sang Czar yang tampak sedang marah itu.

"Tidak, Papa. Memangnya ada apa? Papa bicara dengan siapa?"

"Ardian! Si Czar Hitam itu berani-beraninya mengatakan aku tidak becus menangani para alvern di bawah pimpinanku!" Aku mulai mengerti kini. Hanya sang Czar Alvern Hitam yang mampu membuat seorang mantan Dean Nubia kalap seperti ini.

"Apa alasannya?" tanyaku lagi. Kali ini dengan nada mulai serius.

"Dia menghubungiku tadi, menanyakan kenapa di Belize tidak kunjung turun hujan. Dan kenapa hujannya malah turun di Liexe Land. Padahal aku sudah menyuruh Benjamin memberitahumu bukan, untuk meminta anela menurunkan hujan di Belize dan Dark Forest. Bagaimana mungkin tidak juga turun hujan?" Napas lelaki yang sangat dicintai oleh mamaku itu tersengal-sengal menahan emosinya. Netra birunya memandangku tajam.

Aku terdiam. Hujan? Benjamin? Ah, dasar kunyil itu! Diam-diam aku memakinya dalam hati.
"Le siente, Papa. Sepertinya ada kesalah pahaman. Benjamin tidak memberitahuku soal menurunkan hujan di Belize dan Dark Forest. Dia hanya mengatakan padaku untuk memberitahu Alvern Pengatur Cuaca untuk menurunkan hujan di Liexe Land."

Pantas saja anela itu kebingungan, karena belum waktunya Liexe Land mendapat curahan hujan. Para alvern dan manusia murni di pulau pengasingan itu pasti bersorak-sorai karena mendapat rezeki hujan yang tak disangka-sangka.

"Apa?! Mana anak itu?! Membuat masalah saja kerjaannya!" Aku menatap ngeri wajah sang Czar itu, membayangkan apa yang akan dilakukan sang Alvern Pengendali Angin itu pada putra ke duanya.

"Ada apa teriak-teriak? Suaramu keras sekali sampai terdengar ke ruang belakang." Mama muncul dari ruang tengah. Wanita bertubuh tinggi sedang dan langsing, dengan netra abu-abu itu, tampaknya akan menjadi penyelamat bagi Benjamin.

"Aku akan memanggil Benjamin dulu, Pa, Ma." Mama dan czar itu mengangguk. Napasnya mulai tenang karena kehadiran wanita yang juga sangat dia cintai.

Aku berbalik, lalu melangkah menaiki tangga melingkar khas kastel yang masih dipertahankan oleh mama, menuju ke lantai atas. Melangkah lebar menuju kamar Benjamin yang bersebelahan dengan kamar adik perempuanku, Alva.

Aku mengetuk pintu kayu berwarna abu-abu milik si Kunyuk Usil itu. Sekali ... dua kali ... tidak dijawab. Aku mulai menggedornya. Pintu kemudian terbuka. Wajah kuyu setengah mengantuk dengan rambut semrawut itu memandangku dengan ain setengah menyipit.

"Doshe omra, Ellio? Kau mengganggu mimpi indahku," gerutunya sambil menggaruk bagian atas tubuhnya yang terbuka, memperlihatkan six-pack abs-nya yang sangat dia banggakan. Aku mendengkus. Masih sore, bisa-bisanya si Penebar Pesona ini tidur lelap sambil bermimpi pula. Seperti biasa, kupukul kepalanya yang penuh ide nakal itu.

THE BLUE ALVERNS-Book 2 (completed)SUDAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang