CHAPTER 18. THE TRUTH

1.4K 124 68
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Aku bisa melakukan apa pun, kecuali menjauh darimu. Aku di sini, kini, dan nanti. Aku berjanji takkan lari, atau menyerah dan berlalu pergi lagi.

-Ellio

Clara tidak masuk ke kelas tadi. Ini pasti karena kata-kataku yang menyakiti hatinya. Ah, seharusnya aku tak berkata seperti sekasar itu.

Menyandarkan punggungku sejenak pada kursi, aku memejamkan mata. Dii benakku muncul bayangan Torrent dan kanaya-ku yang tertawa bersama. Argh! Sial!

Netraku membuka. Aku bangkit dari duduk. Pikiranku kacau. Ayolah, Ellio! Lakukan sesuatu!

Aku berjalan mondar-mandir dengan dua tangan di saku. Tak lama, kukeluarkan kembali dan mengusap kasar wajah dan rambutku.

Aku mendengkus sambil melirik ke arah pintu untuk kesekian kali. Raven dan Lilian belum juga kembali. Kenapa mereka lama sekali di gedung utama? Di mana dua sahabatku itu saat aku butuh teman bicara? Argh!

Pintu ruang escolastico terbuka. Gregory muncul dan menatapku seraya menautkan alisnya.

"Kau masih di sini? Kukira kau sudah pulang," ujarnya sembari menaruh buku mengajar di meja berukuran cukup besar yang diisi dengan beberapa kursi di sekelilingnya.

Merasa tidak mendapat sahutan, lelaki itu berjalan menghampiriku. "Kau kenapa? Semenjak pagi kau tampak berbeda. Apa yang sedang kau pikirkan sebenarnya?"

Aku menghela napas. Memandangnya sejenak sebelum mengempaskan tubuhku ke kursi. Mungkin sebaiknya aku ceritakan saja padanya tentang apa yang dikatakan Terra padaku dan Raven. Dia berhak tahu, bukan?

"Gregory, apa rencanamu dengan ... kenyataan bahwa Amelia adalah kanaya-mu? Apa kau sudah memutuskan untuk ... menyatakannya, atau tidak?"

Escoveo itu terdiam sejenak sebelum menyandarkan tubuhnya pada meja, menghadap padaku seraya melipat kedua tangannya.

"Soal itu ... sebenarnya aku sudah memikirkannya. Aku ingin mengenalnya lebih dekat kukira," gumamnya.

Aku terkejut. "Kau serius?"

Gregory mengamatiku dengan raut muka yang tenang. "Ya, tentu saja. Kenapa tidak?"

"Kau yakin tidak akan syok lagi seperti waktu itu, jika nanti kau bertemu dengan Amelia?" tanyaku.

Dia tertawa kecil. "Jangan ingatkan lagi aku pada kejadian itu. Aku merasa malu mengingatnya. Kau pasti berpikir aku sungguh lelaki pengecut, bukan?"

Aku tersenyum lebar mendengar ucapannya. "Aku tidak berpikir begitu. Aku hanya sangat tak mengira, kau bisa sepanik itu ketika melihat kanaya-mu."

Lelaki itu tergelak. "Memalukan. Ya, itulah aku. Aku bukanlah kakakku yang pemberani dalam menghadapi apa pun. Aku pengecut, Ellio. Bahkan aku tak memiliki keberanian saat harus mengambil alih jabatan Michael. Kuharap kau memaafkanku karena sudah membuat papamu meninggalkan jabatannya sebagai pemimpin Nubia waktu itu."

"Hei, sudahlah. Aku juga minta maaf. Tidak semestinya aku masih menyalahkanmu soal itu. Papaku sendiri yang memutuskan bersedia. Bukan hakku untuk mengatur hidupnya. Hanya saja, aku lebih suka bila ia masih menjadi dean. Hidupnya mungkin akan lebih tenang ketimbang berada di posisi menjadi seorang czar di Negeri Aleronn," sahutku pelan.

Aku berpikir sejenak sebelum menatapnya dengan serius.

"Gregory, aku punya rencana untuk ... mengunjungi Clara dan Amelia di rumah mereka ...," ujarku sambil mengamati reaksi lelaki itu, "untuk membicarakan sesuatu .... Apa kau mau ikut?"

THE BLUE ALVERNS-Book 2 (completed)SUDAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang