3. The Madron

2.1K 217 30
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Bukan status, wajah, atau kekuatan yang menjadikan seseorang itu berbeda, tapi sikap.

–Clarabelle Eliza Valencia

Aku menunduk, mengaduk-aduk salad di kotak bekal kayu dengan pikiran berkecamuk. Masih kuingat tatapan tajam lelaki itu. Entah kenapa, aku merasakan suatu kemarahan di netra biru sapphire-nya. Apa kami pernah bertemu? Kenapa dia seperti terkejut melihatku?

Mendongakkan wajah, menatap ke arah lelaki itu dan dua temannya yang duduk bersama, aku hanya bisa menatap punggung lebarnya yang membelakangiku. Keningku berkerut. Mungkinkah dia tidak ingin melihatku? Tetapi, kenapa? Lalu, jika ia memang memiliki kekuatan yang sama denganku, mengapa matanya tidak berubah? Bibirku mengerucut, masih terus memandangi punggung lelaki itu, berpikir keras.

"Clara!" Aku tersentak kaget. Netraku bertemu dengan ain milik Ruby yang menatapku penuh tanya.
"Aku memanggilmu dari tadi. Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Ruby.

Terra dan Xienna kompak menatapku dengan heran.

"Oh ... aku tahu. Pasti kau sedang memikirkan Alvern Benjamin. Iya, kan?" kata Xienna sambil tersenyum jahil. Aku menggeleng dengan cepat. Rambut kepangku bergoyang ikut bergerak.

"Tidak! Aku tidak sedang memikirkannya," sahutku sambil menaruh sendok perak yang kupegang sejak tadi.

Kehilangan nafsu makan, aku membereskan kotak bekal susun dua dari kayu berwarna cokelat terang bermotif ukiran bunga di atasnya. Bisa kurasakan tatapan tajam dari Terra. Aku tahu, dia pasti mengingat reaksiku tadi terhadap lelaki itu. Tolong, jangan katakan apapun, Terra ....

Terra menyentuh tanganku yang masih sibuk membereskan kotak bekal. Seperti ada energi yang menenangkan ketika aku merasakan sentuhannya yang hangat. Aku termangu. Ainku bertemu dengan netra birunya yang lembut dan menenangkan.

"Sebaiknya kita segera ke kelas. Kata Ibuku, kita akan mendapatkan dua pelajaran baru hari ini. Ibuku memberitahu tentang Alvern Lilian dan Alvern Benjamin yang menggantikan Ms. Vivian dan Mr. Gregory. Namun, dia tidak memberitahu tentang dua escolastico yang lain. Yang jelas, mereka sebenarnya pengajar lama, karena sudah mulai mengajar di Pure White Wings sejak tahun pertama."

Suara Ruby membuatku sadar akan posisi tangan Terra dan aku. Segera kutarik tanganku, menatap Xienna yang bersiap-siap bangkit dari kursi, aku berharap gadis itu tidak melihatnya.

Merapikan bekalku, netraku menatap ke arah lelaki itu lagi. Kali ini aku melihatnya memukul kepala temannya itu. Ada apa dengan mereka? Ah, bukan urusanku. Menunduk, lalu menggelengkan kepala, mencoba menenangkan pikiran, aku bangkit berdiri sambil memegang kotak bekal.

"Ayo."

***

Meletakkan kotak bekal di tas, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku ingin meminjam buku tentang seni pedang dan memanah, mempersiapkan diri jika besok akan ada praktek keahlian. Aku suka sekali memanah dan memainkan pedang. Kakekku yang mengajarkanku dulu.

Semasa hidupnya, kakek jago memainkan pedang dan memanah, karena dia adalah seorang pemburu. Dia bahkan pernah bertarung melawan logon. Walaupun kakek berhasil menang, dan membunuh satu dari makhluk itu, tetap saja dia terkena racun dari ekornya. Itulah yang menyebabkan kakek sakit untuk waktu yang lama.

Kakek berhasil bertahan beberapa tahun karena kekuatan fisiknya dan juga tenaga dalam yang dia miliki. Belum lagi, dibantu oleh mama yang pandai dalam membuat ramuan obat. Namun, pada akhirnya kakek harus menyerah setelah dia membuat sebuah pedang, busur dan panah untukku. Kata mama, kakek memberikan semua kekuatan yang dia miliki untuk membuatnya.

THE BLUE ALVERNS-Book 2 (completed)SUDAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang