EPILOGUE

1.7K 100 52
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Suara tepuk tangan dan tawa bahagia terdengar di ruangan aula, kediaman sang Ketua Dewan Alvern. Enam bulan setelah pesta kelulusan Clara dan teman-temannya, Raven dan Lilian akhirnya resmi menjadi pasangan.

Aku dan istriku tengah menunggu kesempatan untuk memberi ucapan selamat pada mereka berdua, di tengah-tengah puluhan tamu undangan lainnya. Aku mengedarkan pandangan, memperhatikan sekitar aula.

Kulihat orang tua Raven dan Lilian, keluargaku, Gregory, serta Amelia sepertinya sedang terlibat percakapan bersama Ardian dan istrinya. Entah apa yang mereka bicarakan.

Aku mengernyit kala menyadari bahwa aku tak melihat Alva dan Lavina. Ke mana dua gadis itu? Tadi, mereka ada di sini saat upacara. Jangan-jangan adik bungsuku kembali melakukan kebiasaan lamanya, ke kamar mandi saat ia merasa gugup akan sesuatu. Aku heran, kenapa dia selalu merasa begitu, terutama pada setiap ada pernikahan?

"Hei, Ellio! Clarabelle!"

Aku menoleh.

"Hei, kalian datang juga akhirnya," balasku ketika melihat Leon, Damien, dan Torrent datang menghampiriku dan Clara. "Kenapa terlambat?" tanyaku heran, menatap alvern berbaju serba putih.

"Seperti biasa, Damien tidak mau memakai baju formal pilihan Ibuku. Ia malah ingin mengenakan jaket, kaos, atau sweter bertudung kesukaannya ke pesta pernikahan. Butuh waktu lama Ibuku membujuknya, hingga ia akhirnya bersedia ketika Torrent muncul dan mengancamnya. Meski demikian, kami harus menebalkan telinga, mendengar gerutunya sepanjang jalan," sahut Leon sambil tertawa.

Damien mendengkus. "Aku benci baju formal, terutama pilihan Ibuku!" sahutnya seraya memandangi setelan abu-abu di tubuhnya.

Aku dan Clara tertawa melihatnya. Demikian pula halnya dngan Leon.

"Kau tidak terlihat buruk," ucap istriku di sela-sela tawanya.

Si putra pertama Alvero itu memicingkan mata, membuat Clara makin tergelak. Gaun sifon biru gelap yang dipakainya, berwarna senada denganku, tetapi memiliki motif bunga bordiran, ikut bergerak.

"Dean juga datang?" tanyaku setelah tawaku reda.

Leon mengangguk. "Ayah dan Ibuku baru saja tiba bersama kami tadi. Kurasa mereka langsung menemui keluarga pengantin."

Aku mengangguk. Mataku kemudian beralih pada Torrent yang diam saja sedari tadi.

Ada yang berbeda di dirinya. Oh, rambutnya! Sepertinya lelaki itu mewarnainya dengan warna cokelat dan memotongnya lebih pendek kini. Ia tampak tak berkedip memandangi perut kanaya-ku.

"Kau terlihat ... gemuk ...," gumamnya tanpa ekspresi.

Wajah Clara spontan memerah.

Kadang aku tak habis pikir pada alvern hitam itu. Bagaimana ia bisa berkata sesuatu yang menyakitkan tanpa memikirkan reaksi orang yang mendengarnya? Bahkan dia tak menampakkan rasa bersalah di wajahnya.

Aku berdeham. "Ia sedang hamil," jawabku singkat. Jawabanku membuat istriku tersipu.

"Aku mungkin sering dikira gila. Namun, aku sangat menghargai dan mengagumi wanita yang mengandung anak dari hasil pernikahannya. Selamat untukmu!" ujar Leon antusias.

"Khiera vhale," sahut Clara seraya tersenyum malu.

Torrent terlihat diam, tetapi aku bisa melihat ada keterkejutan di tatapan matanya. Dia mengangguk kaku sebelum berkata, "Itu kabar yang ... baik. Siente ... aku ingin ke kamar mandi sebentar."

Tanpa menunggu jawaban kami, lelaki berbaju serba hitam itu langsung bergegas pergi menuju tangga.

Melihat itu, Clara menggenggam tanganku erat. Aku menghela napas. Kurasa kami sama-sama menyadari bahwa Torrent masih menyimpan perasaan pada istriku.

"Maafkan dia. Teman kami itu masih butuh waktu untuk melupakan seseorang yang telah mendapat tempat istimewa di hatinya. Torrent akan melepaskan Clarabelle ketika ia menemukan kanaya-nya. Bersabarlah," ucap Damien pelan.

Aku mengangguk. "Aku mengerti. Sebaiknya kita menemui Raven dan Lilian. Kurasa kita bisa mendapat giliran sekarang."

Kedua putra dean mengangguk sebelum melangkah bersama kami menghampiri dua sahabatku yang tampak elegan dengan busana bernuansa putih. Mereka tengah sibuk menebarkan senyum penuh kebahagiaan pada setiap alvern yang datang memberi ucapan.

"Selamat atas pernikahan kalian," ucapku.

Raven sedikit cemberut ketika melihatku dan Clara. "Kenapa baru muncul? Aku menunggumu dari tadi. Benjamin, Ruby, Terra, dan Xienna malah sudah lebih dulu memberi ucapan padaku," sungutnya sambil membalas pelukanku saat aku memberinya rangkulan persaudaraan.

Aku tertawa sambil melepaskan dekapan. "Clara sedang mengandung. Aku tak ingin istri dan calon bayi kami kesulitan melewati sekian banyak orang yang berebut memberimu ucapan selamat."

"Seharusnya kau singkirkan saja mereka dengan kekuatan pengendali anginmu," selorohnya.

"Atau dengan bakat pengendali pikiran milik Clarabelle!" celetuk Lilian.

Aku lagi-lagi tergelak diikuti oleh istriku. "Amelia melarangnya menggunakan kekuatannya selama hamil," ujarku.

Dua sahabatku tersenyum mendengarku membalas serius ucapan canda mereka.

"Wah, sebentar lagi kami akan punya keponakan rupanya. Rasanya aku tak sabar ingin lekas menggendongnya," ucap Lilian.

"Aku justru tidak sabar mengetahui berapa anak yang akan kau berikan untukku," sahut Raven dengan tatapan menggoda pada istrinya.

Lilian seketika mencubit bahunya seraya tertawa malu. "Aku tidak mau melahirkan banyak anak. Kau pikir melahirkan itu mudah?"

Raven yang tadinya meringis saat mendapat cubitan istrinya akhirnya tergelak. "Ayolah, paling tidak aku ingin tiga!"

Wajah Lilian pun memerah.

Aku dan Clara hanya tertawa melihat mereka.

"Hei, selamat, Raven, Lilian," ucap Leon sambil mengangguk.

Sementara sang kakak ikut memberi anggukan pada dua sahabatku.

"Oh, khiera vhale. Di mana Torrent?"

"Dia sedang ke kamar mandi," balas Damien singkat.

Aku mengedarkan pandangan. Mataku segera mengenali sosok yang kini memiliki warna rambut berbeda.

"Itu dia!" seruku.

Wajah Torrent tampak gusar. Dia melangkah lebar sambil mencari-cari sesuatu, atau mungkin seseorang.

"Gadis sialan ...," gumamnya begitu tiba di hadapan kami. Pandangannya masih sibuk melihat-lihat ke sekitarnya.

Aku dan Clara saling berpandangan sebelum menatap alvern hitam itu bingung. Siapa yang ia maksud?

"Ada apa? Kau mencari siapa?" tanya Damien heran.

Torrent menatapnya sebelum memandangi kami semua bergantian, lalu menjawab datar, "Ada gadis gila berani menyentuhku .... Aku akan membuat perhitungan dengannya."

***

Selesai.

Hai, hai! Akhirnya, cerita The Blue Alverns berakhir sampai di sini. Apakah sesuai dengan pengharapan kalian? Apa kesan kalian terhadap kisah ini?

TBA akan segera direvisi untuk proses penerbitan. Jangan khawatir, kalian semua masih bisa membacanya secara lengkap di sini.

Buat kamu-kamu yang masih ingin tahu dan membaca perjalanan kisah para madron hitam utama, dan alvern-alvern lainnya, nantikan kisah seri selanjutnya, ya. Bila segalanya lancar, saya akan segera update cerita ketiga dari Aleronn series.

Akhir kata, terima kasih buat semua pembaca yang setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Tanpa kalian, semangat saya takkan sekuat ini. ^^ Terima kasih banyak.

Sampai jumpa di kisah berikutnya!

THE BLUE ALVERNS-Book 2 (completed)SUDAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang