Pengakuan

59 6 0
                                    

Bukannya pulang, justru Zayn mengantar Jo ke rumah sakit. Gadis itu diperiksa oleh dokter di sebuah ruangan dan Zayn menunggunya di luar. Teringat Pita, adiknya yang entah ada di mana.

Semoga Kau menjaga adikku, Ya Allah ...

Tanpa Zayn sadari seorang suster ke luar dari ruangan di mana Pita diperiksa lalu suster tersebut mendekatinya, "Maaf, permisi ..."

Zayn tergagap, "Eh i-iya sus, bagaimana hasilnya?"

"Luka di tangan adik Mas sangat dalam, jadi kami sarankan untuk dijahit. Selain itu luka tersebut juga sudah terinfeksi bakteri, maka dari itu saya minta persetujuan pihak keluarga ... Apakah adiknya bersedia untuk dijahit?"

"Ooh mmm ... nanti saya tanya ke orang tua dulu ya, sus."

"Oke Mas, ditunggu laporan secepatnya ya. Nanti temui saya di ruang transit."

"Baik, sus."

Suster tersebut melinggalkan Zayn. Bingung, cowok itu harus apa dan bagaimana.
Jo!

Zayn cepat-cepat memasuki ruangan di mana Jo terbaring. Ditatapnya gadis itu. Dengan lengan penuh luka dan sayatan dalam di tangannya. Zayn sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi. Yang jelas jika melihat luka-luka di lengan belakang Jo, itu seperti luka seret. Zayn ingin menanyakan hal itu, namun sepertinya Jo trauma.

"Boleh saya menelepon orang tua kamu?"

Pelan, Jo menatap Zayn. Tatapan kosong.
Zayn menghela napas. Setelah gadis itu memberikan ponselnya, Zayn meninggalkan Jo dan langsung melakukan panggilan ke nomor orang tua Jo. Namun tidak diangkat sebab Zayn ingat ini sudah lewat dari dini hari. Orang tua Jo pasti kelelahan setelah bekerja seharian penuh.

Lagi-lagi Zayn merasa prihatin. Beruntung, orang tuanya bukanlah tipe orang yang selalu sibuk 24 jam sehingga mereka bisa memberikan kasih sayang tanpa batas pasa anak-anaknya.

Sekali lagi, Zayn mencoba menghubungi nomor yang kiranya mampu terhubung dengan rumah Jo. Kali ini yang ia telepon adalah nomor rumah. Tersambung, namun tidak ada jawaban.

Zayn menghela napas. Ia menyalakan ponselnya, terpampang jelas waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 WIB. Hampir subuh.

Zayn kembali menghubungi nomor handphone Pita namun hasilnya sama. Entah kemana ia harus mencari.

***

Siang hari, di kediaman Pita.

Sang ibunda Zayn sudah menampakkan wajah kusutnya. Perasaan haru dan sedih tak terbendung lagi. Terlebih Zayn yang belum pulang sejak semalaman.

Pita ... kamu di mana nak?

Sejak pagi wanita paruh baya itu mondar-mandir. Dari ke depan pembatas komplek, hingga mondar-mandir di dalam ruangan. Sedikit pun ia tidak mengabaikan rengekkan putra kecilnya meski hatinya resah. Hasilnya nihil.

"Pa ... gimana kalau kita lapor ke polisi?" usul mama Pita.

Lelaki paruh baya itu menghela napas, "Niatnya papa juga begitu, ma. Tapi kan belum ada 24 jam,"

Wanita tersebut semakin resah. Bagaimana pun ia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Hingga akhirnya pandangan wanita tersebut teralihkan ke pelataran rumah. Suara motor Zayn memasuki area teras. Namun yang ia dapati Zayn seorang diri. Tidak ada seorang gadis yang biasa duduk di jok belakang.

Sama seperti dirinya, wanita tersebut menangkap raut kusut pada roman putranya.

"Assalamu'alaikum," Zayn memasuki rumah.

BATAS [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang