2.
AZHAR POV
Tidak ada janji yang tidak Kakek tepati, termasuk membawa Emilia ke hadapanku. Tetapi, haruskah keadaan yang mempertemukan kami keadaan yang buruk. Tidak bisakah ketika Kakek membawanya, semuanya baik-baik saja? Kenapa juga harus terjadi kecelakaan itu.
Oke. Aku tahu itu Takdir. Tetapi ketika menyuruhku menikah, tidak bisakah Kakek mengatakan hal lebih dari sekedar 'Menikahlah dengannya Az, dengan itu janji Kakek sudah terpenuhi.' Setidaknya sampai dia mengatakan 'Dia malaikat kecilmu.' Singkat, namun ketiga kata itu bisa merubah segala pikiran burukku terhadap gadis kecil itu.
"Astaga. Gue ini sebenarnya kenapa?" Mataku terpejam merasakan sakit dikepalaku akibat dari jambakan pada rambut yang kulakukan. "Harusnya gue berterimakasih bukan malah menyalahkan Kakek."
Kakek tidaklah salah. Apapun yang Kakek amanahkan harusnya bisa aku jaga dengan baik. Menikahi Emilia, itu berarti bertanggung jawab atas hidup wanita itu juga. Sebagai laki-laki yang baik, harusnya aku tidak menyembunyikan dia dari semua orang. Setidaknya aku bisa memperlakukannya dengan baik lah, bukan malah membencinya.
Sudahlah. Kenapa aku harus membahas kebodohan itu lagi. 'Fokus pada ulang tahun Emi nanti malam Az. Hadiah apa yang bakal kamu persiapkan untuknya?'
Meski dia masih belum membuka matanya, tetapi tidak ada salahnya aku mempersiapkan sesuatu untuk merayakan hari kelahirannya. Hari yang bersejarah juga dalam hidupku, karena di tanggal itu juga aku bisa mengenal sosok malaikat kecilku. Maka moment ini tidak seharusnya aku lewatkan.
Kuambil kembali foto yang tergeletak dihadapanku, foto yang diberikan Papa Bima beberapa saat lalu. Berkali-kali sudah aku memandangi foto ini, tetapi aku tidak merasa bosan sedikitpun.
"Siang Pa—"
"Siang Papa."
"Itu tugas gue. Jangan ikut-ikut."
"Sttt sayang. Gak baik ngomong kasar di depan bayi-bayi."
Aku mendongak, menatap Ken yang sudah meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Zahra. Sedangkan tangan yang satunya tengah menahan berat badan Zilo yang berada dalam gendongannya. Sejak kapan mereka di sana?
"Gak ada sayang-sayang. Gak ada."
"Eh, siapa bilang—"
"Selesain urusan rumah tangga kalian di rumah. Jangan di kantor gue." Aku bangkit, mengitari meja dan berjongkok di depan trolly bayi. Di dalamnya ada Azila yang masih terlelap.
"Kak Az. Ih."
Zahra meletakkan paper bag di atas meja kerjaku, kemudian dengan kaki yang dihentakkan ia berjalan menuju sofa jangan lupakan juga bibir cemberutnya.
"Loh. Babby tunggu. Ini Az, pegangin Zilo."
Dengan tiba-tiba Ken meletakkan Zilo ke atas pangkuanku. Aku mengarjap untuk sesaat, menatap Zilo yang sudah memerah dan aku yakin sebentar lagi tangisnya akan pecah.
Aku bergegas bangkit seraya menenangkan anakku ini, setidaknya jika Zilo menangis jaraknya tidak terlalu dekat dengan Zila. Bibir Zilo yang bergerak bersiap untuk menangis itu terhenti setelah mendengar suara Zahra.
"Ngapain sih deket-deket."
"Aku kan sayang kamu."
"Sana ah sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Wasiat 2
RomanceAda konsekuensi dari setiap tindakan. Ada karma dari setiap kejahatan. Ada pahala dari setiap kebaikan dan ada manis dari setiap kesabaran (?). kesabaran yang dijalaninya kini pasti akan berbuah manis juga pastinya. Pun dengan perjuangannya sekarang...