14. Author - Merencanakan resepsi pernikahan

303 28 8
                                    

Selamat menbaca ...

***

"Ayo makan," ajak Azhar yang bahkan tidak menyempatkan memasuki kamar. Hanya berbicara dari ambang pintu dengan penampilan formal yang sudah berubah, berganti dengan pakaian yang lebih santai.

Sepertinya Laki-laki itu memilih mandi di lantai bawah, dan berganti dengan pakaian yang ada di ruang kerja. Apakah kesalahan Emi separah itu? hingga Azhar menghindarinya. Emi membisu memikiirkannya.

"Kenapa malah diam? Ayo...."

"Kakak duluan aja, aku belum lapar." Emi tidak sepenuhnya berbohong, kegelisahan yang dirasakan seakan telah berhasil menghilangkan rasa laparnya.

"Terus mau makan kapan?" Lelaki itu terlihat menghela napas. "Jangan sampai nantinya kamu kekurangan tenaga. Kalau gak ada tenaga, gimana mau mengurus bayi itu?" Lanjut Azhar menunjuk pada bayi Aulia seraya mendekat pada Emi.

Sebelum tangan Azhar berhasil menariknya, Emi bersuara. "Ayo kita pindah dari rumah ini."

"Maksudmu?" tanya Azhar tidak mengerti.

"Kita pindah ke apartemen Kakak yang dulu, biar aku bisa belajar ngurus anak-anak tanpa bantuan orang lain." Itu juga yang Zahra usulkan ketika Emi mengeluhkan masalahnya beberapa saat lalu.

"Kenapa harus pindah? Emang di rumah ini kamu gak bisa belajar ngurus anak?"

"Bukan gitu." Emi menggeleng. "Aku bisa, tapi akan lebih maksimal tanpa campur tangan orangtua. Enggak, Kakak jangan salah paham dulu," selanya cepat. Menghentikan Azhar yang akan buka suara. "Maksudku, aku bukan gak berterima kasih sama bantuan Bunda dan orang rumah. Aku ngusulin pindah cuma ingin buktiin sama Kak Az, kalau aku juga pasti bisa jagain ketiga anak sekaligus."

"Jadi semua masih gara-gara bayi itu?" Tatapan Azhar menajam.

"Kak," desah Emi frustrasi. Ia bingung, entah dengan kalimat seperti apa lagi yang bisa membuat Azhar mengerti ucapannya. Sungguh, bukan Emi gak bahagia hidup bersama keluarga Azhar. Hanya saja, Ia hanya ingin lebih leluasa dalam menjalankan rumah tangganya.

Jika tidak hidup mandiri, sampai kapanpun Azhar tidak akan mau untuk mencoba menerima Bayi Aulia dan Emi yang akan mendapat tekanan karena keputusan yang tidak sejalan dengan semua orang.

Lagipula apa salah bayi Aulia, hingga Azhar sulit menerimanya? Padahal anak itu hanya seorang bayi tak berdosa yang tidak tahu apa-apa. Tanpa adanya bayi Aulia, mungkin Azhar tidak dapat berperan menjadi seorang Ayah seperti saat ini. Tidak hanya itu, tanpanya, nyawa Emi pun belum tentu masih selamat.

"Kakak ke bawah dulu. Kalau mau makan, nyusul aja." Setelahnya, Azhar melenggang. Meninggalkan Emi yang masih mematung--sibuk dengan pikirannya sendiri.

***

Emi melewatkan waktu makan malamnya dan sampai saat ini pun, Azhar beserta kedua anak mereka belum kembali ke kamar. Emi ingin menemuinya, namun nyalinya terlalu ciut. Perasaannya terlalu lemah untuk menghadapi para orang tua itu sendirian.

Alhasil kesibukannya saat ini, hanya menatap lekat bayi Aulia yang sudah bangun dari tidurnya. Bayi itu anteng sendiri dengan mata indahnya yang melirik kesana-kemari. Sesekali tatapannya berhenti pada Emi, lalu tersenyum renyah seakan menemukan sumber bahagianya.

Bagaimana nasibnya, jika Bayi ini benar-benar dikembalikan ke panti? Emi tersenyum kecut.

Tanpa sadar penglihatan Emi memanas, seiring dengan pikiran yang dipenuhi berbagai hal. Nasib bayi ini, nasib rumahtangganya, dan bagaimana menghadapi Ibu mertua tanpa dukungan dari Azhar.

Pernikahan Wasiat 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang