3. Azhar - Dia Sadar

8K 931 76
                                    

Fyuhhhh... Akhirnya bisa cepet update juga...

Makasih buat kalian-kalian yang selalu nunggu cerita ini dengan sabar//duh apasih, wkwk...

Makasih buat kalian-kalian yang selalu memberikan komentar dan selalu setia memijit ikon bintangnya.. Wkwk..

Pokoknya makasih banyak..

Maaf ya aku gak bisa bales komentar kalian satu satu.. Percaya deh aku selalu membacanya kok, Kalau sempet nanti aku balesin deh.. Hehe.

Oke, selamat membaca semuanya!!! Kalau ada typo tag aku yaa..  😘😘😘

***

Azhar POV

'Bantu Papa. Jangan biarkan Mama pergi, oke....' Kuciumi kening kedua anakku bergantian. Tepat setelah itu pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok Bunda.

"Kamu disini?" tanyanya.

Bahkan untuk menatap matanya saja tidak bisa kulakukan. Aku masih kecewa dengan wanita ini yang sudah menyembunyikan keadaan Emi dariku. Meski itu untuk kebaikanku, tetap saja itu tidaklah benar.

"Biarkan Az melihat keadaannya."

Bunda membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi ia katupkan kembali. Ia mengikuti keinginanku, menggeser sedikit tubuhnya dan membiarkanku memasuki ruangan yang begitu sepi ini. Kemana orang-orang? Dokter? Atau... Darren? Bukankah dia yang menjaga Emi hari ini.

Aku menghembuskan napas lega. Setidaknya alat-alat penopang kehidupan Emi masih terpasang di tubuhnya. Mungkinkah keadaan kritisnya beberapa waktu lalu sudah bisa ditangani Dokter? Atau sengaja belum dicopot, sampai kedua anak yang kubawa ini bersentuhan fisik dengannya.

"Bunda tinggal dulu."

Tidak kuhiraukan ucapan Bunda. Aku lebih memilih mendekati ranjang pasien untuk mendudukkan kedua anakku, tetapi keduanya malah semakin mengeratkan pelukan pada leherku.

"Hei ... Kalian kenapa hm? Gak mau nyapa Bunda?" Aku terkekeh kecil untuk sedikit menghilangkan ketakutan yang dirasakan Zila-Zilo. Nihil, mereka tidak bereaksi apa-apa. Baiklah.

Sama sepertiku dan Zahra yang memanggil kedua orangtua kami dengan sebutan Ayah Bunda, maka panggilan itu juga yang akan anak-anakku gunakan untuk menyebutku dan Emi nanti. Untuk sekarang biarkan mereka—Orang-orang yang menjulukiku dengan sebutan Papa—memanggil demikian, seiring berjalannya waktu aku akan mengajarkan Zila dan Zilo menyubutku Papa secara perlahan.

"Siang sayang...." Kukecup kening istriku meski sedikit susah. "Lihatlah, siapa yang aku bawa."

Hening ... Hanya bunyi dari peralatan medis yang terdengar.

Tatapanku terkunci pada wajah pucatnya. Mata sayunya yang masih terpejam, bibir tipisnya yang kian hari makin memucat. Keceriaan yang selalu kulihat dulu dari wajahnya kini sudah sirna. Hanya keadaan ini yang tersisa. Penyesalan demi penyesalan terus saja menghantuiku, semua itu tidak akan berhenti sampai Emi membuka matanya.

Pada nyatanya apa yang terjadi pada Emi sekarang merupakan hasil kebodohanku. Anak-anak kehilangan kasih sayang Bundanya juga karenaku. Kalau waktu itu aku bisa mengontrol emosiku sedikit saja, mungkin keadaan ini tidak akan pernah terjadi.

Pernikahan wasiat yang aku jalani bersama Emi benar-benar berakhir pada malam itu. Malam dimana Aulia menculiknya dan membiarkan Emilia jatuh, terbawa arus sungai.

Pernikahan Wasiat 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang