Selamat membaca...
***
Mendekatkan diri pada anak-anak ternyata tidak semudah yang Emi pikirkan. Kedua anaknya itu masih enggan berdekatan dengannya, setiap Emi menghampiri meski untuk sekedar menyapanya, mereka akan berbalik dan berhambur pada pangkuan Zahra.
Pelan-pelan Zahra memberi pengertian, mengenalkan Emi sebagai Ibu mereka dan meyakinkan keduanya kalau Emi bukanlah sosok yang jahat. Tetap saja, mereka tidak mengerti. Dimata keduanya Emilia tetaplah orang asing.
Emi duduk di samping Zahra, dengan harapan anak-anaknya tidak menghindar lagi. Benar saja, mereka diam dan hanya memperhatikan Emi sesaat. Emi mulai menyapa, menanyakan beberapa pertanyaan konyol seperti "Wah, Zilo suka pisang ya, boleh Mama minta?" tanyanya ketika melihat Zilo yang sibuk menggigit pisang mainan.
Anak itu tidak merespon, malah bergerak sampai duduk memunggungi Emi. Zahra menatap tidak enak hati, "Gak papa Em. Waktumu buat mengambil hati mereka masih panjang. Ini baru permulaan, jadi jangan patah semangat ya."
Emi hanya mengangguk.
Beberapa saat lalu Zahra sempat meninggalkan Zila-Zilo dengan berpura-pura ke toilet, sengaja supaya Emi bisa mengambil perhatian mereka. Ketika Emi memperhatikannya dari jauh, mereka masih biasa saja. Pada saat Emi mendekat, wajah-wajah kebingungan mulai tergambar pada raut kedua anaknya.
Seperti anak kecil pada umunya, yang ditinggalkan ditempat baru dan dipertemukan dengan orang asing. Begitulah reaksi Zila-Zilo ketika Emi duduk di dekat mereka dan mencoba mengajak mereka bermain dengan mainan yang ada. Zila-Zilo menangis keras, seperti orang ketakutan.
Zahra masih bersembunyi dibalik tembok, sedang Emi bersiap untuk menenangkan Zilo dengan menggendongnya. Layaknya seorang Kakak yang tidak mau adiknya kenapa-napa, Zila mulai bereaksi dengan memukul-mukul lutut Emi. Secara fisik memang tidak sakit, tetapi secara batin, jawaban lain lagi.
Dengan terpaksa Emi melepaskan Zilo kembali, dan kedua anaknya mulai merangkak ke arah pintu. Zahra muncul secara tiba-tiba dan langsung menutup pintu kamar. Tangisan anak-anak berhenti seketika, mungkin mereka lega karena seseorang yang selalu bersamanya telah kembali.
"Sebentar lagi jadwal tidur siang mereka," Zahra mencoba mencairkan suasana. Zila-Zilo sudah berada dalam gendongannya, dua-duanya menyembunyikan wajah mereka ke arah punggung Zahra.
Emi belum menimpali, ia masih memperhatikan anak-anaknya yang begitu nyaman dalam gendongan Zahra. Di sisi lain ia berterimakasih karena keadaan ini membuktikan bahwa selama ini Zahra telah menjaga anak-anaknya dengan sepenuh hati.
Sedang disisi yang lain, Emi merasa iri dengan Zahra. Iya, dia sadar kok, tidak semestinya ia cemburu pada Zahra, tetapi kepercayaan diri yang rendah telah mengambil alih, sehingga kecemburuan pun tidak dapat dihindari.
"Kamu mau bikinin susu buat mereka nggak Em?" Pertanyaan Zahra yang selanjutnya membuat raut muka Emi berubah drastis.
"Mau Ra," ujarnya antusias dengan kepala yang mengangguk berulang. "Susunya di bawah kan?" tanyanya kemudian. Dan Zahra melebarkan senyumnya sambil menganguk samar.
Pada saat-saat inilah Emi bisa benar-benar bebas menyentuh anaknya tanpa mendapat protes, saat dimana mereka terlelap dalam tidurnya. Emi tidak dapat menahan air matanya kembali, entah apa yang mengundang air mata itu keluar, Emi pun tidak tahu alasannya. Beruntungnya di kamar ini hanya tinggal dirinya dan kedua anaknya, karena Zahra sudah pergi makan siang bersama Diandra.
Emi masih enggan beranjak dari tempat duduknya saat ini. Berdiam diri di atas ranjang dengan mengusap-usap wajah Zila-Zilo, benar-benar hal kecil yang bisa menghangatkan perasaannya. Azhar telah melakukan tugasnya dengan baik, Emi berbangga diri untuk hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Wasiat 2
RomanceAda konsekuensi dari setiap tindakan. Ada karma dari setiap kejahatan. Ada pahala dari setiap kebaikan dan ada manis dari setiap kesabaran (?). kesabaran yang dijalaninya kini pasti akan berbuah manis juga pastinya. Pun dengan perjuangannya sekarang...