6. Author - Pulang

6K 567 11
                                    

AUTHOR POV

Beberapa saat setelah Azhar keluar untuk mencari udara segar--sebagai pelampiasan dari kekecewaannya karena perlakuan Emi, akhirnya ia kembali dan mendapati istrinya yang tengah tidur dengan gelisah. Terdengar dari gumaman-gumaman tidak jelas yang keluar dari bibir wanita itu, keningnya juga berkerut sesekali seolah tengah ketakutan.

Dengan sangat hati-hati Azhar mengusap keringat dingin yang membasahi pelipis istrinya seraya bergumam "Tenanglah, Kakak disini."

"Jangan Kak ... Kumohon...." Padahal mata wanita itu terpejam, tetapi tetap saja sebutir bening berhasil keluar dari sana. Azhar mengusapnya dengan tangan bergetar seraya berharap apa yang terjadi tidak seperti apa yang dipikirkannya.

"Aku takut Kak ... Aku takut ... Aku belum siap. Kumohon jangan...." Emilia terisak dalam tidurnya.

Penglihatan Azhar berkaca-kaca, perasaan bersalah itu menyeruak memenuhi rongga dadanya hingga disana terasa sesak. Ya Tuhan, apa yang telah dia pikirkan sehingga menyalahkan Emilia atas penolakannya tadi. Harusnya dia sadar, Emi menolaknya akibat keberengsekannya dulu.

Jelas sekali wanita itu trauma, mungkin saja kejadian beberapa waktu lalu terbayang kembali, dan hal itulah yang membuat Emi menghentikan aksinya tadi.

"Sayang, Kakak disini. Tenanglah...."

Tangan wanita itu semakin erat memegang selimutnya, tubuhnya meringkuk layaknya janin dalam kandungan. Meski Azhar sudah mengusapnya, tetapi air mata itu tetap keluar dari ujung mata istrinya.

"Kumohon jangan...," masih dalam isakannya Emi bergumam. Bagaimana bisa? Padahal wanita itu masih tertidur.

Berengsek, ia berengsek. Azhar memundurkan kakinya beberapa langkah seraya mencengkarm rambut dengan kedua tangannya. Ia tidak pernah berpikir, tindakannya dulu akan sangat meninggalkan ketakutan yang begitu besar untuk istrinya.

Bagaimana dengan malam-malam wanita itu sebelumnya, pasti tidak beda jauh seperti saat ini. Dirinya sibuk memikirkan wanita lain, sedangkan Emilia menderita seorang diri dihantui oleh mimpi-mimpi buruknya.

Tidak—tidak. Azhar tidak boleh diam saja. Dialah yang telah menimbulkan trauma itu, maka dialah yang harus menghilangkannya.

Azhar berjalan dan naik ke atas ranjang, menarik tubuh Emi yang tidur memunggunginya kedalam pelukannya. Mengecup pucuk kepala Emi berulang seraya menggumamkan kata maaf.

"Kakak janji akan memperlakukanmu lebih baik. Kakak nggak akan memaksamu lagi sayang, Kakak janji. Kakak nggak akan meninggalkanmu lagi. Hentikan semua ini, hilangkan bayang-bayang buruk itu. Sebagai gantinya Kakak siap mendapatkan hukuman. Lakukan apapun, apapun itu. Memukul? Memaki? Semuanya. Lampiaskan semuanya pada Kakak, jangan biarkan ketakutan menguasaimu," bisik Azhar.

Perlahan namun pasti, pegangan Emi pada selimut tadi sudah mulai melemah. Azhar mengambil alih, menggengam tangan Emi seolah menyalurkan kekuatan dari sana.

Benar saja. Keadaan Emi mulai kembali rileks, badannya mulai bergerak tidak lagi meringkuk seperti janin. Azhar semakin erat memeluknya dan masih tetap mencium pucuk kepala istrinya. Ia tidak akan tidur sebelum memastikan Emi kembali baik sepenuhnya.

***

Emi mengernyit dalam tidurnya ketika sebuah cahaya menyilaukan penglihatannya. "Selamat pagi sayang." Disusul sapaan penuh sayang dari suaminya.

Setelah mengerjap beberapa kali akhirnya Emi bisa menatap Azhar dengan jelas. Sepertinya laki-laki itu baru saja membuka gorden dan sekarang sudah berjalan kearahnya, untuk memberikan kecupan selamat pagi seperti biasa, mungkin? Itu juga kalau kejadian semalam tidak mengganggu suasana hati laki-laki itu. Emi tersenyum miris.

Pernikahan Wasiat 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang