13. Author - Ibu Yang Gagal

329 31 4
                                    

"Bagaimana aku bisa membuktikan? sementara kamu pun tidak memberiku kesempatan."
Emilia.

***

"Eh, Kak Az udah pulang?" Emi tidak dapat menyembunyikan senyum, ketika mendapati Azhar yang memasuki kamar.

Namun Azhar sama sekali tidak menanggapi pertanyaan basa-basi itu. Suaminya ini lebih milih pokus mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar, seraya bertanya. "Dimana anak-anak?"

"Dibawa sama Bunda. Di bawah gak ada emang?" Emi balik bertanya.

"Kalau ada, Kakak juga gak perlu nanyain keberadaan mereka 'kan?"

"Eh, Iya ya." Emi meringis, menyadari kebodohannya.

Azhar menghembuskan napas sebelum berucap. "Katanya mau coba mendekatkan diri pada anak-anak. Tapi sekarang apa? Kamu malah pokus sama Bayi Aulia terus. Kakak capek tahu ngeliatnya."

"Loh?" Pokus sama bayi Aulia terus? Kenapa kalimat Azhar itu terdengar seolah sering melihat Emi memerhatikan Bayi Aulia saja. Bukankah baru kali ini? "Gak gitu Kak. Tadi mereka sama aku kok, tapi karena bayi Aulia pup, jadi aku gak terlalu merhatiin Zila Zilo karena gantiin popoknya bentar. Eh Zila malah nangis di usilin Zilo. Mungkin tangisan Zila kedenger sama Bunda, jadi Bunda—"

"Bunda ke sini, dan mengambil mereka?" Azhar menyela.

"Ya." Emi mengangguk, membenarkan.

Lagi-lagi Azhar menarik napas. "Lain kali buktiin dong sama orang-orang rumah kalau kamu bisa menangani ketiganya. Kalau gini terus, yang ada orang rumah malah gak percaya sama apa yang pernah kamu omongin. Cepat atau lambat, mereka pasti akan meminta agar Bayi itu dikembaliin lagi ke panti."

Apakah selama dalam pengasuhan Azhar atau Zahra, Zila Zilo tidak pernah menangis? Pasti sering, bukan? Tetapi kenapa, jika dalam pengawasan Emi, keduanya seakan tidak boleh menangis? Karena jika menangis, Emi dinyatakan gagal dalam mengurus anak-anaknya dan tidak berhak merawat Bayi Aulia.

"I—iya Kak, lain kali akan kubuktiin, sampai mereka percaya kalau aku bisa mengurus ketiganya," jelas Emi dengan suara menahan tangis. Meski Azhar mengungkapkan yang sebenarnya, tapi hal itu tetap saja berhasil mengusik perasaan Emi hingga menimbulkan kesedihan karenanya.

Untuk sejenak Emi sempat lupa, bahwa suaminya juga belum seratus persen menyetujui keputusannya—dalam membesarkan Bayi Aulia ini. Azhar masih jaga jarak, tidak seperti dirinya yang langsung memosisikan diri sebagai Ibu untuk Bayi itu.

Dalam diam Emi mengamati pergerakan Azhar, yang kini sudah sibuk menyimpan tas kerja pada meja rias. Kemudian ditimpa dengan jas, yang sejak tadi di tentengnya.

Biar saja, nanti Emi yang memindahkan itu semua ke tempat yang semestinya.

Lebih baik, sekarang Azhar pergi untuk menemukan keberadaan anak-anaknya. Namun langkahnya terhenti oleh Emi yang sudah menghalangi, dengan berujar. "Aku belum salim." Seraya mengambil tangan Azhar dan memberikan kecupan disana. "Senyum dikit, biar gak cepat keliatan tua disini." Emi mengusap dahi lalu berakhir dengan menarik kedua sudut bibir Azhar sampai membentuk sebuah senyuman.

Emi tahu, Azhar tengah capek dengan pekerjaannya. Bisa jadi, hal itu juga yang menyebabkan Azhar kesal, hingga akhirnya menjadikan Emi dan bayi Aulia sebagai pelampiasannya. Dalam posisi ini harusnya Emi memahami, bukan malah sakit hati.

Sayangnya, sedikitpun Azhar tidak tersentuh dengan perlakuan manja Emi. Yang ada, Azhar malah semakin kesal. Apakah Istrinya ini benar-benar tidak menyadari dimana letak kesalahannya. Jika seperti itu, percuma saja Azhar menjelaskan. Tetapi mau sampai kapan? Kapan Istrinya itu bisa sadar, jika memperhatikan Zila Zilo lebih penting dibanding mengurus anak orang lain.

Pernikahan Wasiat 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang