14. Berandalan?

4.5K 469 17
                                    

Jangan melihat orang dari penampilannya saja.
Tapi lihatlah dari hatinya.
Karena penampilan tak menjamin baik buruknya seseorang.


Afifa hendak mengambil buku, belum sempat dia meraih buku itu, dia merasa ada yang mendorong tubuhnya. Tubuhnya tersentak ke tembok setinggi pinggang. Afifa dapat melihat ke bawah sangat menyeramkan, karena posisi perpustakaan di lantai 2.

Afifa mencoba sedikit memutar lehernya untuk melihat siapa yang mendorongnya, seketika matanya membulat.

"Kak Bara lepasin! Bukan mahram!" pekik Afifa.

Tapi Bara semakin membuat tubuhnya membungkuk. Apakah Bara akan menjatuhkannya.

"Sok-sokan bukan mahram, dulu kenapa mau pacaran sama gue, ha?" tanya Bara penuh penekanan.
"Terus mutusin gue gitu aja, enak aja main mutusin, gue mau sesuatu dari lo!"

Apa maksud Bara, Afifa benar-benar takut ingin rasanya dia menangis.

"Ma ... maksud Kakak apa? Kakak belum puas dengan wanita-wanita yang sudah Kakak mainin itu?"

"Beraninya lo ngomong gitu." Bara semakin menekuk tubuh Afifa.

"Ya Allah apa yang harus Afifa lakuin, lindungilah hamba ya Allah," batinnya. Afifa memejamkan matanya kuat-kuat, dia tidak ingin melihat situasi di bawah, karena hanya akan menambah rasa takutnya.

Tiba-tiba ada yang menarik kerah baju Bara dari belakang. Bara spontan menoleh, lalu melepaskan tangannya dari belakang Afifa yang sedari tadi ditekuknya.

Buugghhh!
Sebuah pukulan mendarat di dekat rahang Bara.

"Sok mau jadi pahlawan lo." Bara tersenyum miring, sambil memegangi bekas pukulan Dhafin.
"Gue akan buat dia lebih menderita!" ancam Bara, lalu berjalan keluar perpustakaan.

Dhafin dapat melihat Afifa duduk bersandar di tembok yang setinggi pinggang itu, dengan kedua kaki ditekuk, dan wajahnya dibenamkan di antara lututnya. Dhafin dapat melihat tubuh gadis itu bergetar. Dhafin berjongkok untuk memastikan Afifa baik-baik saja.

"Hey."

Afifa mendongakkan kepalanya dengan ari mata yang masih mengalir lembut di kedua pipinya. Dia merasa Dhafin selalu menolongnya saat kesusahan. Tidak-tidak! Allah yang menolongnya, hanya saja lewat perantara Dhafin.

"Lo diapain sama dia? Ada yang sakit?" tanya Dhafin.

Afifa hanya menggelengkan kepalanya, sambil menghapus air matanya. Jujur dia benar-benar takut. Tidak dapat dibayangkan kalau sampai tadi dia terjatuh dari lantai 2.

"Bisa berdiri?" tanya Dhafin.

Kaki Afifa masih terasa lemas, mungkin karena rasa takutnya terlalu tinggi. Tapi dia berusaha berdiri.

"Mau cari apa ke sini?"

"Buku," jawab Afifa pelan.

"Buku apa? Biar gue ambilin."

Dhafin mengambil buku tebal yang bertuliskan matematika, lalu dia memberikannya kepada Afifa.

"Makasih Kak." Afifa mengambil bukunya dari tangan Dhafin.

Dhafin mengangguk. "Kenapa dia bisa ada di sini?"

"Afifa juga gak tau, tiba-tiba aja Afifa udah didorong."

"Lo harus lebih hati-hati lagi, kalo mau kemana-mana jangan sendiri."

"Iya Kak ... Kakak sendiri kenapa bisa di sini?"

"Tadi gue mau ke ruang rapat, terus denger teriakan dari arah sini, karena gue penasaran, ya udah gue ke sini, mumpung anak-anak juga masih sepi di ruang rapat, terus gue liat Bara kayak mau jatuhin lo dan ngancem lo," jelas Dhafin santai.

CHANGE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang