11. Futsal

5.3K 490 12
                                    

Rasa dendam?
Rasa itulah yang membuat diri kita sendiri hancur. Maka dari itu belajarlah untuk saling memaafkan.

Saat itu tersisa dua mahluk di teras Masjid.

"Ada profesi buat jadi pelawak tu si Ibu," gumam Afifa, lalu dia melihat Dhafin. Kenapa Dhafin masih duduk di situ. Afifa merasa risih, tapi kini posisinya Dhafin tidak lagi menghadapnya.

"Kakak mau nginep di sini, ya?" tanya Afifa polos.

"Lo jalan duluan," ucap Dhafin datar, tanpa menoleh.

Kini Afifa sudah berjalan, diikuti Dhafin di belakangnya.

Anak SMA Bangsa tidak ada di sini, kan? Kalau ada bisa tamat riwayatnya. Kenapa juga dia harus bertemu Dhafin, dia sudah susah payah menghindari Dhafin di sekolah, kenapa di luar bertemu, tidak ada orang lain apa? Tukang es cendol atau siapa yang penting bukan Dhafin.

Afifa melihat motornya dengan kondisi sudah sehat. Ditambah dia melihat abang bengkel menggunakan sarung.

"Abang abis Sholat?"

"Iya Neng," jawabnya disertai cengiran.

"Alhamdulillah, terusin Bang."

Abang bengkelnya hanya bisa nyengir, baru pertamakali dia ditegur oleh pelanggannya sendiri.

"Berapa Bang?"

"20 ribu Neng."

Afifa mengambil dompetnya di dalam tas, dia membuka dompetnya, dan hanya tersisa sepuluh ribu.

"Bang, Afifa bayar 10 ribu dulu ya, besok Afifa dateng lagi ke sini."

Belum sempat Afifa memberikan uang, Dhafin sudah terlebih dahulu memberikan selembar uang duapuluh ribu ke Abang bengkel.

"Afifa kan gak minta dibayarin!" protesnya.
"Ya udah besok Afifa ganti di sekolah," sambungnya.

"Gak usah," jawab Dhafin datar.

"Afifa gak nerima penolakan, jadi Afifa tetep mau ganti!"

"Gak kreatif lo," cibir Dhafin.

Afifa nyengir, dia sadar ucapannya yang tidak menerima penolakan sama dengan ucapan Dhafin waktu itu.

***

Afifa sampai di rumahnya, sebelum Sholat Isya. Setelah mengucapkan salam, Afifa melangkah masuk, dia mendapati Arvino tengah menonton tv. Sepertinya Arvino tengah bersiap-siap untuk berbicara satu hektar, dengan cepat Afifa mendekat, dan memberikan sarung yang dibelinya tadi.

"Jangan ngomong dulu, Afifa capek." Afifa meninggalkan Arvino.

Disaat sendiri seperti ini, Afifa teringat kejadian-kejadian yang dia tidak tau atas dasar apa dia dibully. Sebaiknya Afifa benar-benar harus menjauhi Dhafin, mungkin akar masalahnya di sini. Tapi dia juga tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, karena skenarionya sudah diatur oleh Allah. Dia sadar makin hari dia merasa semakin dekat dengan Dhafin, seharusnya ini tidak perlu terjadi sampai sejauh ini. Seminggu terakhir setelah kejadian di mading, Afifa sudah berusaha menghindar dari Dhafin.

***

Afifa hendak pulang setelah pelajaran terakhir selesai.

"Fa temenin gue nonton turnamen futsal ya, yang main sekolah kita loh," mohon Alya.
Sahabatnya ini kalau sudah masalah bola tidak bisa diganggu gugat.

"Kapan?"

"Nanti sore."

"Afifa takut gak diizinin, nanti yang ada Abang Afifa ngikut lagi."

CHANGE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang