Sekarang pelangi itu sudah di dekatku. Aku berharap dia tidak cepat menghilang. Aku tak ingin warnanya pudar sedikitpun.
"Enggak," jawab Dhafin datar.
"Dikira Afifa batu apa? Afifa kan juga manusia, Afifa juga butuh makan, butuh minum," batin Afifa. Afifa mengigit kuat bibir bawahnya. Dia berusaha menyembunyikan rasa sedih dan kesalnya saat ini.
"Assalamualaikum," pamit Dhafin. Dia langsung keluar dari kamar hotel.
"Waalaikumsalam."
Setelah Dhafin benar-benar pergi. Afifa membaringkan tubuhnya di sofa sambil memegangi perutnya.
"Kasian banget anak Umi Fatimah kelaparan," ucap Afifa sendiri. "Udah tadi ngomong gitu, sekarang malah ninggalin Afifa yang kelaparan," gerutunya. Afifa memejamkan matanya.
Dhafin kembali ke kamar hotelnya dengan menenteng dua kantong plastik. Dia mendapati Afifa tengah tertidur di sofa.
"Bangun," lirih Dhafin sambil menepuk-nepuk pundak Afifa.
Afifa perlahan membuka kelopak matanya. Dia langsung mendudukkan tubuhnya saat melihat wajah Dhafin yang dekat dengan wajahnya. "Kok malah bangunin Afifa?" protesnya.
"Mau makan, gak?"
Afifa menatap bingung. Bukannya Dhafin sudah pergi keluar untuk makan. "Mau makan di mana? Lagian Kakak juga udah makan, Afifa sama siapa? Udahlah Afifa mau tidur aja, supaya gak bunyi terus perutnya."
"Makan di sini, berdua," jawab Dhafin.
Afifa baru menyadari dua kantong plastik di depannya. Tanpa di beri aba-aba pipi Afifa sudah memerah.
Mereka duduk bersampingan sambil memakan makanannya masing-masing.
"Kenapa nulis gitu?"
"Nulis apa?" tanya Afifa bingung.
"Baru tadi nulisnya, sekarang udah lupa," cibir Dhafin.
"Oh itu, bukan apa-apa kok."
"Yakin gak mau bilang?" tanya Dhafin tetap dengan nada datarnya.
Afifa paling tidak bisa menyembunyikan sesuatu. Dia tidak punya keahlian dalam hal ini, rasa sesak itu kembali meluap.
"Kakak terpaksa ya nikah sama, Afifa?" Afifa menaruh piringnya di atas meja sedangkan Dhafin masih menyuap makanannya.
"Kata siapa?"
'Tadi Kakak bilang mau nikah sama Afifa cuman gara-gara Papa."
"Iya," jawab Dhafin datar.
Detik itu juga air mata Afifa jatuh. Dia tidak bisa menahannya lagi.
Dhafin meletakkan piringnya di atas meja. "Maksudnya, aku sebenarnya sekarang belum mau menikah, tapi aku baru pulang dari Inggris udah disuruh nikah, disuruh ngurusin perusahaan, melihat kondisi Papa yang begitu aku mana bisa nolak."
"Terus kenapa Kakak mau nikah?"
"Karena kamu."
Jawaban Dhafin seketika membuat pipi Afifa merah merona untuk ke dua kalinya.
Tangan Dhafin bergerak menyentuh ke dua pipi gadis itu. Dhafin mengusap lembut bekas air mata Afifa. "Udah ya jangan nangis lagi," pinta Dhafin sambil tersenyum lembut.
Debaran jantung Afifa kembali kencang saat melihat setiap inci wajah Dhafin. Benar-benar tampan apalagi saat tersenyum.
"Ganteng, ya?" tanya Dhafin dengan wajah jahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHANGE [END]
SpiritualBelum direvisi. Rank #5 in Hidayah (10-04-2019) Rank #8 in Istiqomah (27-02-2019) Seorang gadis bernama Afifa Nahda Rafanda, yang bersekolah di SMA Bangsa, sekolah yang cukup elit. Dia baru beberapa bulan yang lalu putus dari kakak kelasnya, yang ke...