24. Kematian?

8.6K 544 70
                                        

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
[Ali Imran : 185]


"Ada apa, Ma?"

"Sudah, ke sini aja. Di sini juga udah ada orang tua Afifa."

Sambungan telepon begitu saja terputus. Dhafin masih bingung. Kenapa Mamanya menyuruh ke rumah sakit.

"Naik!"

"Loh, Afifa harus ikut?" tanya Afifa karena dia tidak tau apa yang dibicarakan Dhafin disambungan telepon tadi.

"Jangan nanya lagi, buruan naik!"

Afifa mendengus kesal sambil mendudukkan tubuhnya di jok belakang motor vespa Dhafin.

***

Pelan-pelan Dhafin membuka pintu ruangan. Di sana sudah terlihat Mamanya dan kedua orang tua Afifa, dan seorang pria tengah berbaring dengan beberapa selang di tubuhnya. Dhafin langsung masuk diikuti Afifa.

"Papa kenapa lagi, Ma?"

Tidak ada jawaban dari Mamanya. Air mata Mamanya terus mengalir.

Tangan Raihan bergerak pelan memegang tangan Dhafin yang sudah berdiri di sampingnya. "Ka ... kalian sudah buat rumah?" tanya Raihan susah payah.

"Belum Pa, tapi lokasinya udah nemu," jawab Dhafin.

"Jangan buat rumah lagi. Tinggal aja di rumah kita, temenin Mama kamu." Raihan menarik nafasnya susah payah. "Jagain Mama kamu, ya. Ikutin apa kata dia, jagain juga istri kamu, jaga perasaannya, Papa mohon jangan buat ke dua wanita yang kamu cintai ini meneteskan air mata." Raihan menghembuskan nafas panjang untuk terakhir kalinya.

"Papa!" teriak Dhafin. Dia langsung memeluk erat tubuh Raihan.

Seketika tangis pecah di dalam ruangan.

***

Seminggu setelah meninggalnya Raihan.

Afifa membereskan pakaiannya untuk pindah ke rumah Dhafin. Afifa sesekali melihat Dhafin yang banyak diam akhir-akhir ini. Dhafin masih terlihat lesu. Dhafin duduk di atas kasurnya.

Afifa menghentikan aktivitasnya. Dia duduk di samping Dhafin. "Jangan sedih lagi," lirih Afifa. Sepertinya Dhafin benar-benar terpukul dengan kejadian seminggu yang lalu.

"Kamu gak ngerasain apa yang aku rasain!" bentak Dhafin.

Afifa kaget mendengar perkataan Dhafin yang begitu kasar menurutnya. Afifa mengalihkan pandangannya ke depan. Dia beranjak dari duduknya lalu kembali memasukkan pakaian ke dalam koper. Posisi Afifa membelakangi Dhafin. Mata Afifa mulai berkaca-kaca. Tubuhnya bergetar. Dia menangis tanpa suara. Apakah ucapannya salah? Dia hanya berniat untuk menenangkan Dhafin. Tapi kenapa Dhafin membentaknya. Seakan-akan tidak suka dengan perkataannya.

Dhafin baru tersadar. Kenapa dia membentak Afifa. Kenapa dia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Dhafin berulang kali mengucapkan istighfar di dalam hati.

Perlahan dia berjalan mendekati Afifa. Di lihatnya Afifa bukannya membereskan baju tapi gadis itu tengah menangis. Pasti ini karena perkataannya. Dhafin memegangi ke dua pundak Afifa sehingga gadis itu berdiri dan berhadapan dengannya. Dhafin memeluk Afifa dengan erat. "Maaf ... Aku belum bisa mengendalikan emosi ku," lirih Dhafin. "Jangan nangis lagi, kemarin denger kan Papa mohon sama aku, agar tidak membuat wanita yang ku cintai menangis?"

Afifa menganggukkan kepalanya yang masih berada di dalam pelukan Dhafin. Afifa melepaskan pelukannya. Afifa duduk di atas kasur diikuti Dhafin.

"Jangan sedih lagi, ya," pinta Afifa. "Kita kan tau bahwa kapanpun dan di manapun kematian akan datang. Semua yang hidup pasti akan merasakan mati. Kita hanya tinggal menunggu giliran." Afifa menghela nafasnya. "Siap gak siap, kalau sudah waktunya, kita gak bisa nolak. Tanpa kita sadari kematian itu dekat, tapi kita masih saja melalaikan perintah-NYA. Jujur, Afifa takut jika waktu itu datang."

Dhafin meraih kepala Afifa dan meletakkannya di pundaknya. "Kematian bukan untuk ditakuti, tapi untuk dipersiapkan," ucap Dhafin tenang.

Lama mereka di posisi itu. Akhirnya Afifa menegakkan posisinya. Dia melihat Dhafin sekilas. "Afifa mau lanjutin beres-beres pakaiannya dulu." Afifa berdiri dari duduknya.

Dhafin dengan sigap meraih lengan Afifa. Sehingga membuat gadis itu berbalik menghadapnya.

"Ada apa?" tanya Afifa. Dia melihat Dhafin masih dengan posisi duduk.

Dhafin mengetuk-ngetuk pipinya dengan tangan kirinya.

"Itu namanya pipi," ucap Afifa.

"Jadi gak mau, ni?"

"Apaan sih? Afifa gak ngerti tau."

Dhafin berdiri dari duduknya. Dia menatap Afifa dalam-dalam.

Cup.

Sebuah kecupan mendarat di pipi kanan Afifa. Afifa mematung di tempat sedangkan Dhafin sudah berlalu.

"Jangan bengong aja, ayo beresin bajunya," ucap Dhafin.

Afifa masih tidak tau harus bersikap bagaimana. Ini pertama kalinya Dhafin mencium pipinya. Apakah tadi Dhafin memberi kode agar Afifa mencium pipi Dhafin. Ah! Afifa jadi malu sendiri. Afifa membalikkan tubuhnya. Dia melihat Dhafin sudah membereskan pakaiannya.

"Selesai," ucap Dhafin. Dia berjalan mendekati Afifa. "Gak gratis, loh," goda Dhafin.

Afifa mengalihkan pandangannya. Dia tidak ingin menatap Dhafin. Kenapa dia merasa malu. "Harus bayar gitu?" tanya Afifa ketus.

Dhafin mengetuk-ngetuk pipinya lagi.

"Afifa malu," rajuknya. "Udah ah, Afifa mau tidur, ngantuk."

Afifa sudah membaringkan tubuhnya di kasur. Pikirannya melayang entah kemana.

"Jangan ngelamun," ucap Dhafin sambil mendudukkan tubuhnya di tepi kasur.

"Afifa gak ngelamun kok." Afifa mendudukkan tubuhnya. Sedari tadi yang ada di pikirannya adalah Febby. Sampai-sampai muncul perasaan ragu di hati Afifa. Ingin sekali Afifa menanyakannya.

"Apakah ka--"

Ucapan Afifa terpotong saat jari telunjuk Dhafin mendarat di bibir mungilnya. Afifa teringat Dhafin tidak ingin dipanggil Kakak. Dhafin menurunkan tangannya. Dia menunggu Afifa melanjutkan perkataannya.

"Apakah kamu mencintai ku?" batin Afifa. Entah kenapa lidahnya terasa kaku untuk menanyakan itu.

Dhafin menatap dalam-dalam gadis itu. "Aku sangat mencintai mu, Afifa Nahda Rafanda," lirih Dhafin.

Afifa kaget. Kenapa Dhafin tiba-tiba seperti menjawab pertanyaannya. Mata Afifa sudah berkaca-kaca mendengar ucapan yang baru saja dikatakan Dhafin. Jantung Afifa kembali berpacu.

"Tapi kita harus lebih cinta sama Allah," ucap Dhafin.

"Kita bersama-sama mengejar cintanya Allah," ucap Afifa haru disertai senyum dan air mata yang mengalir lembut di kedua pipinya.

Dhafin mengusap ubun-ubun Afifa beberapa kali. Lalu turun mengusap air mata Afifa. "Istri siapa, sih? Pinter banget," tanya Dhafin gemas.

"Istrinya Bang Dhafin Ghifari," ucap Afifa disertai senyum yang memperlihatkan gigi gingsulnya.

Dhafin mencubit pipi Afifa. "Imut banget, sih," gemas Dhafin.

Keduanya tengah asik bercanda gurau.

-END-

Alhamdulillah😊 akhirnya selesai juga. Makasih buat yang udah mau baca, yang udah mau vote, yang udah komentar😁.

Ana tunggu lagi kehadiran kalian di cerita baru ana nanti💞. Sekarang ana lagi proses pembuatan cover😁.
Di cerita baru nanti. Ana harap gak ada lagi yang jadi pembaca gelap, oke😉.

Ambil aja yang baik-baiknya. Yang buruknya dibuang jauh-jauh ya hehe.

CHANGE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang