Hari ini adalah hari kepulanganku dari rumah sakit jiwa di Grogol. Ayah, Ibu, Paman dan Bibiku menjemput aku untuk pulang ke rumah. Saat pertama kali aku bertemu dengan mereka lagi dapat kulihat raut bahagia dan kelegaan di wajah mereka. Terutama Ibu, beliau langsung berlari memelukku erat bagai kami tak berjumpa bertahun-tahun.
Di perjalanan aku sama sekali tidak bisa berpikir apapun. Apa yang terjadi hingga keluargaku mengirim kesana? Apa ada yang salah, sedang ingatanku entah kenapa sebagian hilang waktu aku sakit.
"Bu, di mana Mas Alvaro?"
Alvaro Ramadhan adalah nama suamiku. Kami telah menikah selama empat tahun dan memiliki seorang anak lelaki, usianya baru menginjak tiga, tapi anak lelakiku sangatlah pintar. Namun, kenapa aku tidak melihat satu pun dari mereka datang menjemputku?
Ibuku tiba-tiba menangis. Aku tidak mengerti, dengan sentuhan lembut aku mencoba menghibur beliau. "Bu, jangan menangis. Kalau Ibu menangis, Rahma juga ikut sedih."
Air mata di kedua belah pipi Ibuku belum berhenti. Beliau mengengam tanganku lalu memelukku. "Yang sabar, Teh. Yang sabar." Ibuku terus mengulangi kalimat itu. Aku semakin tidak mengerti.
"Ayah?" Aku berpaling ke Ayah,berharap Ayah mau memberitahu apa sebenarnya yang telah terjadi.
Namun Ayah cuma diam. Dia memalingkan wajahnya ke jendela dan dari bayangan kaca jendela mobil, dapat kulihat Ayahku juga sedang menangis. Tidak mendapat jawaban aku belum menyerah. Aku berganti ke Paman dan Bibiku. Tapi tetap tak kudapatkan jawaban apapun dari mereka.
Setiba di rumah aku baru mengerti semuanya. Alvaro telah pergi, membawa anak lelaki kami Azka yang baru berusia tiga tahun ke rumah Mertuaku. Aku sungguh tidak percaya. Bagaimana bisa?
Begitu kejam.
Aku menangis bersama Ayah dan Ibuku.
Setelah mengetahui bahwa suamiku sendiri telah pergi selama dua Minggu dari rumah kami, Ibu berkata Alvaro tidak kuat menahan gunjingan dari tetangga yang menyebut dia memiliki istri gila. Ya, Allah, apa salah hamba padamu?
Setiap malam, setelah aku meminum obatku, aku menyucikan diri berwudhu lalu shalat. Dalam shalat itu pipiku selalu basah, mengadu pada sang pencipta. Kenapa nasibku harus tragis seperti ini?
Seingatku sebelum aku kehilangan pikiranku sendiri, semua baik-baik saja. Aku memang sedikit bertengkar dengan suamiku. Dia tanpa diketahui olehku telah meminjamkan uang tabungan kami selama ini untuk memperbaiki rumah ke Ibunya. Sungguh sakit hati ini, bukannya aku pelit. Tapi tak bisakah Mas Alvaro membicarakannya terlebih dulu denganku, istrinya.
Setelan semua pertengkaran itu aku memang sering melamun. Pikiranku kosong, hatiku selalu berputus asa. Kemarahan dan kekecewaanku pada suamiku dan keluarganya ternyata sudah mencapai batasnya. Aku tidak bisa berpikir lagi. Aku tidak bisa mengendalikan diriku lagi.
Namun, bukannya suamiku ada di sampingku untuk mendukung. Ternyata dia lebih memilih pergi meninggalkanku.
Sungguh tega kau, Mas. Kau bahkan membawa anak lelaki kesayanganku denganmu. Dimana janji dahulu yang kau ucapkan?
Sehidup semati. Saat aku terperosok pun kau tak mengulurkan tangan, tapi malah mendorongku hingga jatuh ke dalam jurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Mantan Istri [Tamat]
RomanceKau pernah membuatku merasa berharga, sebelum engkau hempaskanku bagai sampah. Aku percaya pada bahtera ini, percaya kita akan dapat melewati berbagai badai bersama. Tapi.... Di sini, di waktu itu kau malah meninggalkanku. Sendiri dengan pikiran ya...