Jurnal Ketiga

11K 690 33
                                    

Dua jam aku kehilangan kesadaran dan saat pertama kali aku membuka mata, wajah menangis Ibuku lah pertama yang kulihat.

Remuk hatiku saat itu juga.

Ibu membawakan segelas air untukku. Dengan tangan yang gemetar, aku meminum air itu dari gelas. Beberapa tetes air menetes keluar dari bibirku, tapi aku tidak peduli.

Ada amarah dan luka, tapi lebih banyak rasa kepedihan melanda hatiku. Menutup mataku, dapat kurasakan kedua tangan Ibuku membawa ke pelukannya. Hangat..., aku memeluk kembali Ibu sangat erat.

Dua hari setelah kedatangan Ibu mertuaku, Mas Alvaro tiba-tiba datang ke rumahku. Aku awalnya senang, mengira Mas Alvaro datang mau menemuiku. Mungkin rindu, aku tersenyum menyambut kedatangannya. Sempat aku mencari keberadaan Azka putraku, tapi tidak kutemukan. Ah, mungkin Azka sedang sibuk bermain atau tidur. Aku masih berpikir positif.

Tapi, raut wajah lembut Mas Alvaro yang tak kulihat entah membawa firasat buruk untukku. Mata hitam yang biasa teduh di balik kacamata berbingkai hitamnya menatapku tajam sekarang.

"Rahma, hentikan semua ini. Apa dengan menangis kau pikir aku akan kasihan? Aku tidak ingin disebut mempunyai istri gila lagi! Lebih baik kita bercerai!"

Suara bentakan Mas Alvaro cukup keras hingga para tetangga keluar memperhatikan kami. Mas Alvaro yang sadar kita menjadi bahan tontonan, wajah putihnya semakib merah dan memelototiku. Tak ada lagi Mas Alvaro suamiku yang selalu menatapku lembut, kini di matanya mungkin aku tidak lebih baik dari seekor anjing yang dibencinya.

Tatapan penuh kebencian itu..., hanya pernah kulihat ketika Mas Alvaro memandang seekor anjing liar yang pernah terbaring karena terluka kakinya di depan rumah kami dua tahun lalu. Mas Alvaro yang sangat suka kebersihan sepertinya sangat membenci anjing itu. Saat aku akan membagi sisa makanan dan semangkuk air untuk anjing tersebut, Mas Alvaro menghentikan dan memarahiku.

"Untuk apa kau kasihan pada binatang kotor itu! Sebentar lagi anjing itu juga akan mati. Jangan sia-siakan makanan pada makhluk tidak berguna itu!"

Entah mengerti atau tidak, anjing yang tadinya sedang terbaring, bangun lalu merengek. Dengan susah payah perlahan anjing itu bangun berdiri dengan menyeret kakinya yang terluka terseok-seok menjauhi rumah kami. Mas Alvaro berdecih lalu masuk ke dalam rumah.

Dan kini tatapan yang sama diarahkan padaku.

"Aku tidak ingin bercerai, Mas! Aku tidak mau!" Aku menjerit sambil menutup telinga dengan kedua tanganku. Mas Alvaro mencengkram kedua lenganku kasar lalu menariknya agar aku mau mendengarkan.

"Ini adalah keputusanku. Mau kau menerima atau tidak, aku tidak peduli Rahma!"

Sang Mantan Istri [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang