Aku membuka mataku kembali kira-kira sepuluh menit kemudian, setidaknya itulah hitungan waktu oleh Sofia ketika aku tidak sadarkan diri sebelumnya. Ibu, mengelus dahiku, wajahnya tampak khawatir begitu juga Sofia yang duduk di samping tempat tidurku.
"Kalau sudah kena penyakit seperti ini tidak boleh ada tekanan, bi. Sofia juga biasanya menghindari memikirkan masalah berat, karena aku juga didiagnosis penyakit kejiwaan yang sama seperti Rahma. Hanya aku masih bisa menahan." Sofia berbicara pada ibuku.
Ibu mengangguk. Beliau pun bertanya, "Sudah baikan, teh?"
Aku mencoba bangun dengan bantuan Sofia di sampingku. "Baik, Bu. Di mana Azka?"
"Sedang main di teras sama Ramadhan," jawab ibu.
Ramadhan adalah sepupu kecilku, anak paman Aldi adik bungsu ibu. Sedang Sofia sendiri adalah putri dari bibi Amira, kakak tertua ibu, tapi karena ibu menikah lebih dahulu dan perut bibi Amira kosong selama tiga tahun, jadi Sofia lebih muda dariku empat tahun.
"Aku ingin melihat Azka," kataku.
Ibu dan Sofia membantuku berdiri, kemudian mengantarku juga ke teras depan. Kulihat Azka sedang berlarian gembira bersama Ramadhan di teras, mereka memang seusia jadi tak aneh bila dua anak itu cepat menjadi akrab meski cukup lama belum bertemu. Aku jadi tidak ingin mengganggu kesenangan Azka.
"Bu, besok mas Alvaro akan menjemput Azka."
"Lah, kok cuma sehari Azka di sini teh?"
Aku pun menggeleng. "Aku juga tidak tahu. Apa kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk membuat Azka tetap tinggal di sini?" mohonku pada ibu.
Ibu tampak sedih. "Kalau itu, ibu tidak bisa berbuat apa-apa teh. Bila di bandingkan kondisi ekonomi mereka dirasa lebih baik untuk mengurus Azka, lagipula masih banyak pengeluaran untuk membayar obat dan lainnya. Usaha empang keluarga kita pun akhir-akhir ini terus merugi."
Terdiam, aku pun paham maksud ibu. Karena sakitu kemarin itu, ibu dan ayah telah mengeluarkan banyak uang, mereka berusaha mencari kesembuhan untukku dari yang masih berada dalam kota, luar kota bahkan luar pulau. Aku tidak bisa menghitung berapa banyak uang yang habis. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan Azka yang pasti banyak ibu rasa tidak mungkin. Aku juga bisa melihat wajah muram Sofia. Keluarga Sofia cukup berada, tapi beberapa musibah juga tengah menimpanya. Istri dari kakak tiri Sofia tengah sakit keras, dan mau tidak mau paman dan bibi Almira yang walaupun bukan ibu kandung kakak laki-laki Sofia juga harus membantu pengobatannya. Aku tidak bisa merepotkan mereka.
"Aku mengerti, bu. Asal masih bisa melihat Azka nanti, Rahma tidak akan keberatan. Mungkin memang lebih baik Azka dirawat di sana." Meski tidak menerimanya dan hatiku sebagai seorang ibu hancur, aku tidak bisa egois demi kebahagiaan Azka. Karena aku adalah ibunya.
"Bunda!" Azka berlari menghampiriku. "Lihat!" Tangan kecillnya menyodorkan sesuatu padaku.
"Patung tanah?" Meski aku menyebutnya patung itu lebih terlihat seperti tanah yang digulung sengaja membentuk macam batang lonjong tapi panjang. Ada tiga di tangan Azka. Dia menunjuknya satu persatu. "Ini abi, ini Azka dan yang ini bunda." Azka memulai dari yang paling panjang lalu pendek dan terakhir yang sedang. "Bunda suka? Azka yang buat ini." Dengan mata polos, bibirnya sumringah seakan menunggu sebuah pujian dariku.
Tanpa sadar aku mengigit bibir bawahku dan tak kurasakan perih sebelum memeluk Azka dengan erat. "Bunda suka sayang, bunda suka...." Aku terus membisikkan kata itu berulang kali.
Dari jauh Ramadhan memanggil nama Azka mengajaknya bermain lagi. Azka sedikit berontak dalam pelukanku, lalu aku pun melepasnya. "Ini untuk bunda. Azka mau main lagi, dadah bunda." Setelah menyerahkan tiga patung tanah itu padaku, Azka berteriak pada Ramadhan agar menunggunya. Mereka berdua saling tertawa lalu mulai berlarian lagi lebih jauh dan ternyata ada anak lainnya yang sedang menunggu dan ikut bergabung dengan mereka.
"Jangan jauh-jauh!" Aku memperingatkan, meski ragu Azka dan Ramadhan akan menurutinya.
"Mereka sepertinya mau bermain menuju arah rumahku, ada ibuku jadi tidak perlu khawatir," ucap Sofia.
"Ya." Kalau kata Sofia benar, bibi Almira pasti akan mengawasi dan menjaga Azka dan anak-anak lainnya.
"Teh, sekarang lebih baik istirahat. Biar ibu yang mengerjakan pekerjaan rumah hari ini."
"Tapi bu....—" Sebelum aku mengatakan lebih lanjut apapun, ibu membawaku lagi masuk ke kamar. "Istirahatlah," perintah ibu lembut. Melihat raut wajah ibu yang tampak lelah, aku tidak tega lagi membantah perintah beliau. Membaringkan kepalaku ke atas bantal aku pura-pura menutup mataku agar ibu akhirnya pun keluar. Setelah sendiri dalam kamar, aku membuka mata dan memikirkan kembali ucapan polos dari Azka tentang ibu lainnya yang ia miliki kini. Jadi di hatimu ada wanita lain, mas? Sungguh aku masih tidak percaya mas Alvaro akan melakukan hal begitu kejam padaku.
Meski aku kehilangan sebagian besar ingatanku waktu sakit, tapi seiring berjalan waktu aku mulai sedikit demi sedikit mengingat apa yang terjadi. Rantai berat yang membelenggu kedua kakiku, cacian dan makian, dan raut wajah jijik mas Alvaro saat menjengukku di tempat bagai neraka itu, aku mencengkram sepray penuh sesak, sedih tapi juga marah. Aku ingat jelas mas Alvaro lah yang mengirimku ke sebuah tempat yang katanya adalah panti pengobatan untuk orang-orang gila.
Tempat itu ternyata bukanlah panti untuk pengobatan untuk orang sepertiku tapi adalah tempat penyiksaan bagi orang-orang yang katanya kehilangan jiwanya. Rasa sakit dari kepalaku yang dibenturkan tiap malam ke tembok kamar mandi dan caci maki dari para pengurus di tempat itu. Mas Alvaro saat itu membawaku kesana tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Dan saat kedua orang tuaku tahu, aku telah terkurung di sana.
Air mata membasahi pipiku, tapi bibirku tertawa tanpa suara. "Mas, apa benar niatmu waktu itu membawaku ke tempat bagai neraka tersebut adalah untuk menyembuhkanku seperti katamu pada ayah dan ibuku? Tapi mengapa aku merasa sekarang niatmu sebenarnya waktu itu adalah menghilangkanku dari dunia ini, mas?" Aku berbisik parau sendiri. Menutup kedua mataku, bukannya tidur tapi bayangan dari penyiksaan dari tempat itu terus menbayangiku.
Sekarang aku semakin meragu. Mas Alvaro yang sedari dulu yang kukira adalah pria paling lembut dan mencintai keluarga sebenarnya apa pernah ada?Terlintas dalam pikiranku, apa pria itu benar-benar pernah mencintaiku dulu? Seperti ucap dan janji yang ia berikan padaku sebelum pernikahan kami. Atau itu hanya demi harta semata? Karena selama kami menikah, mas Alvaro telah menjual tanah dan bahkan satu rumah yang merupakan warisan dari nenek pihak ayahku sebelumnya. Kini ketika kondisi ekonomi keluargaku kesulitan, dan kondisi ekonomi keluarga mas Alvaro yang kata Sofia semakin membaik. Aku jadi mengingat umpatan Sofia kemarin yang kudengar tanpa sengaja ketika dia sedang berbincang dengan ibuku dan bibi Almira.
"Setelah menghabiskan semua, jual tanah sama rumah. Memang darimana semua awalnya kemajuan usaha toko keluarga si Alvaro itu! Dari uang hasil jual harta warisan Rahma kan?! Kenapa bibi Nia diam saja? Kita labrak saja rumah dia bi!"
Ibuku yang memang tidak suka ribut-ribut, memilih untuk menahan dan menenangkan Sofia. Tapi meski begitu aku tahu beliau juga marah dengan sikap mas Alvaro dan keluarganya.
Jadi pada awalnya, sebenarnya semua ini juga adalah salahku. Kenapa aku jatuh pada pria berwajah dua macam mas Alvaro? Maafkan Rahma, ibu, ayah....
Maafkan bunda juga Azka. Mungkin benar perceraian itu seharusnya aku menyetujui bukan menolak. Persetan dengan rasa cintaku pada mas Alvaro dahulu, aku harus sadar! Bangun dari tempat tidurku, aku mengambil sebuah map berkas dari lemari. Di dalam ada surat perceraianku dengan mas Alvaro. Mencari sebuah pulpen, akhirnya aku menemukan di atas meja. Aku dengan cepat menanda tangani surat perceraian itu. Besok aku akan menyerahkannya lansung ke mas Alvaro.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Mantan Istri [Tamat]
RomanceKau pernah membuatku merasa berharga, sebelum engkau hempaskanku bagai sampah. Aku percaya pada bahtera ini, percaya kita akan dapat melewati berbagai badai bersama. Tapi.... Di sini, di waktu itu kau malah meninggalkanku. Sendiri dengan pikiran ya...