Jurnal Kesepuluh

11.6K 741 53
                                    

Perceraianku dengan Alvaro berjalan lancar. Tak ada pertengkaran ataupun perdebatan lain di antara kami. Alvaro bahkan menambah masa menginap Azka menjadi tiga hari tanpa kuminta. Dia hanya mengangguk padaku sebelum berpisah.

Keseharianku setelah bercerai sebenarnya pun tidak berbeda dengan sebelumnya. Terbiasa sendiri, aku mencoba menerima status terbaruku sebagai seorang janda. Di usia yang begitu muda tak pernah terpikir aku akan bercerai, padahal impianku dulu hanya ingin satu kali menikah seumur hidup.

Namun, meski gagal, aku tidak trauma. Tidak semua laki-laki seperti Alvaro, aku yakin suatu hari Allah akan memberikanku laki-laki yang lebih baik. Tapi sayang, luka di hatiku ini harus disembuhkan dulu.

"Kamu benar mau pergi kerja ke Bogor, teh?" Ayah yang baru pulang dari empang bertanya padaku. Harta keluargaku memang hampir ludes, tapi beruntung masih tersisa beberapa petak empang, cukup untuk kami menyambung hidup ke depan.

"Aku serius, pak. Rahma ingin kerja. Lagipula sejak menikah, Rahma jarang pergi kemana-mana."

"Tapi kamu belum sembuh benar, teh!" Ibu maupun ayah nampaknya tidak setuju dengan keputusanku. Mereka saling bertukar pandang khawatir. "Di rumah saja dulu, bantu ibu di rumah," pinta ibu padaku.

"Benar kata ibumu. Di rumah saja dulu." Ayah juga mendukung permintaan ibu.

Melihat kedua orang tuaku, aku mengerti alasan mereka khawatir padaku. Baru saja aku sembuh dari penyakit yang mungkin merebutku dari mereka, memang tubuhku masih akan tetap ada, tapi jiwaku tidak akan mengenali ayah dan ibu lagi. Di tambah aku adalah sisa anak satu-satunya dalam keluarga ini sekarang. Andai saja adik perempuanku Zahra masih hidup....

Aku mengambil tangan ayah dan ibu lalu menggengamnya masing-masing di dua telapak tanganku.

"Rahma ingin pergi dari sini untuk menenangkan diri. Tidak lama, Rahma pasti akan sering pulang nanti. Ayah dan ibu jangan khawatir, ya." Aku memohon pada mereka.

Satu minggu sebelum akhirnya ayah dan ibu setuju. 

"Jaga baik-baik dirimu, teh. Jangan lupa minum obat, nanti setiap dua minggu ayahmu akan datang mengantar obat dan Azka." Ibu dan ayah bergantian memelukku.

Di antar mobil milik keluarga Sofia ke bogor, aku memilih mengontrak daripada tinggal di rumah kakak tiri Sofia. Itu karena meski kami masih bisa disebut keluarga, kami tetap tidak berhubungan darah. Aku tidak enak pada istri dan anaknya nanti.

Mengontrak sendirian, aku juga bisa jadi lebih tenang. Di sini aku telah diberikan pekerjaan yang tidak terlalu berat dari bibiku dari pihak ayah. Mengelola satu rumah makan bersama anak dari bibiku yang baru lulus kuliah tahun ini yang bernama Siska. Dia lebih muda enam tahun dariku, tapi anaknya baik. Jadi kami langsung akrab.

Semoga kami bisa mengembangkan bisnis rumah makan ini dan juga membangun kehidupan baruku lebih baik.

Sang Mantan Istri [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang