"Bunda udah baikan?"
Aku awalnya kaget, anak sekecil Azka tahu bahwa sebelumnya aku sedang sakit, sedang suamiku..., aku menatap Mas Alvaro yang sedang mengalihkan pandangan ke jalan. Tak maukah, engkau sekedar melihatku lagi, Mas?
Aku berusaha fokus ke Azka kembali. "Bunda sudah sehat. Bagaimana dengan Azka tinggal di rumah Nenek Malia, senang?"
Azka belum sempat menjawab pertanyaannya, Mas Alvaro memotongnya. "Tentu saja Azka senang. Di sana banyak anak-anak seumurannya yang bisa diajak bermain, banyak mainan dan juga ada ibuku yang pasti bisa menjaganya lebih baik dari di sini." Suaranya dingin dan datar, menyadarkanku sekali lagi bahwa Mas Alvaro yang dulu kukenal telah hilang.
"Bunda, bun?" Azka meraih wajahku. "Kenapa bunda nangis?"
Azka baru berusia tiga tahun, tapi dia memang selalu peka dengan keadaanku. Beruntung keadaan antara aku dan Mas Alvaro terlalu rumit untuk dimengertinya sekarang.
"Mata bunda kelilipan. Azka, kesini pasti karena rindu bunda kan?" aku mencoba mengukir senyum di atas bibir, meski terasa kaku di hadapan tatapan tajam Mas Alvaro yang seperti memperingatkanku sesuatu.
Lagi-lagi bukan Azka yang menjawab pertanyaanku, tapi Mas Alvaro.
"Satu malam Azka akan menginap, besok aku akan menjemputnya kembali."
"Kembali? Ini adalah rumah Azka Mas!" Kemarin aku merasa lemah, karena belum siap dan masih shock dengan kenyataan yang terpampang di hadapanku. Namun, aku sadar ini bukan hanya tentangku dan Mas Alvaro, tapi Azka putraku juga.
Bantahanku ternyata tak diterima baik oleh Mas Alvaro. Wajah putihnya memerah, jelas dia kesal tapi mencoba menahan karena masih ada Azka di antara kami. "Aku tidak mau berdebat dengan orang tak waras!" katanya dingin. Dia berjongkok, tak memperdulikanku yang diam mematung karena perkataanya tadi.
Tangan besarnya membelai rambut Azka lalu mencium keningnya. "Besok ayah jemput. Jangan nakal di sini ya."
Tetap tidak memperdulikanku, Mas Alvaro tidak menunggu jawaban Azka ataupun aku sebelum berbalik dan berjalan menuju motornya. Dia naik lalu menghidupkannya, dan tak lama dia pun lansung pergi.
"Suamimu ya, Rah. Sungguh menyebalkan!"
Entah sejak kapan sepupuku Sofia ada di belakangku. Dia cemberut sambil menatap tajam ke arah jalan pertigaan tadi Mas Alvaro pergi.
Aku tidak berkomentar apa-apa. Sejak dulu mulut Sofia memang tajam. Kuraih Azka lalu menggendongnya membawa masuk ke dalam rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Mantan Istri [Tamat]
RomanceKau pernah membuatku merasa berharga, sebelum engkau hempaskanku bagai sampah. Aku percaya pada bahtera ini, percaya kita akan dapat melewati berbagai badai bersama. Tapi.... Di sini, di waktu itu kau malah meninggalkanku. Sendiri dengan pikiran ya...