Jurnal Kedelapan

8.2K 692 73
                                    

"Sudah bulat keputusanmu, teh?" tanya ibu padaku.

Aku mengelus berkas perceraian yang tergeletak di atas meja. Sebersit ada sedikit rasa tidak rela, tapi sampai kapan aku menjadi lemah dan meminta-minta orang itu tetap di sisiku, padahal orang itu sudah tidak mau. Sangat menyedihkan, aku mengejek diriku sendiri.

"Sudah, bu. Rahma telah memikirkan semua resiko dan dampak pada Azka nantinya. Ini mungkin bukan keputusan terbaik untuknya sekarang, tapi rumah tanggaku dengan mas Alvaro sepertinya memang harus berakhir. Rahma cuma berharap ketika Azka besar, dia bisa mengerti dengan keadaan sekarang dan bisa memaafkan aku sebagai ibunya yang telah gagal."

Ibu memelukku, beliau membelai kepalaku lembut, berusaha menguatkan tubuhku yang tengah bergetar menahan rasa sesak di dadaku kini. Aku berusaha kuat, berusaha menipu hati yang sekarang tengah terluka dan berdarah. Bohong, jika aku bisa mudah melupakan dan melepaskan cintaku pada mas Alvaro. Bukan waktu yang sebentar waktu lima tahun kami meniti jalan setapak demi setapak yang curam dan kadang berliku demi membangun keutuhan rumah tangga kami sampai sekarang. Belum dihitung waktu dua tahun aku berpacaran dengan mas Alvaro. Kenangan indah maupun pahit terus terlintas dalam ingatanku, mungkin seumur hidup aku tidak akan bisa melupakan sepenuhnya. Terutama kenangan saat aku berada di tempat penyiksaan itu! Ketika kakiku dipasung, kedua tanganku di rantai, dan kepalaku dihantamkan ke tembok hampir setiap malam.

"Aku ingin bahagia, bu. Rahma ingin menunjukan di depan mas Alvaro dan juga keluarganya bahwa Rahma bukan wanita lemah! Ayah dan ibu dan keluarga kita tidak pantas bila terus diinjak-injak oleh mereka! Maka setelah perceraian ini....," aku sedikit meremas berkas perceraian di tanganku. "Rahma pasti akan bahagia! Tanpa mas Alvaro, Rahma akan bangkit dan akan menjadi wanita lebih kuat dan tidak bodoh lagi seperti dahulu!"

Ibu menangis di pundakku. Meski mataku hangat dan ikut meneteskan air mata. Aku tahu ini akan menjadi terakhir kalinya aku menangis karena pria itu. Setelah ini, tidak akan ada lagi sosok Rahma yang lemah dan cengeng, sosok itu telah kubunuh.

"Semua akan baik-baik saja, bu. Semua pasti baik-baik saja." Aku terus mengulangnya, berjanji dalam hati penderitaan yang dialami keluargaku karena kebodohanku akan berakhir besok.

Sang Mantan Istri [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang