Mungkin bagi Dilan rindu itu berat, tapi bagiku rindu itu melelahkan.
Lelah karena harus menahan amarah, lelah karena di rundung rasa gundah.
Aku lelah merindukanmu yang menghilang tanpa jejak. Sepertinya ini sudah minggu kedua sejak pertemuan terakhir kita di malam suram yang membuatmu diam dalam sekam.Entah enggan atau sungkan, kau tidak mengangkat panggilan telponku. Pesan panjang, pesan lapang bahkan sekedar pesan tak bertuan pun kau abaikan.
Ada apa denganmu? Ah, aku jadi seperti Cinta yang menunggu kepulangan Rangga.
Wanita itu terus mencecar dengan nanar karena aku belum bisa memberikan kabar yang benar. Mencari paman ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Aku belum pernah kehabisan akal seperti ini. Mungkin karena aku kehilangan tujuan atau mungkin karena tujuanku justru sudah menyimpang.
Tanpa kusadari, aku telah jatuh cinta pada Elang sepenuh hati. Dia bukan lelaki pertama yang kutemui tapi dia memang yang paling berarti. Dia juga bukan lelaki pertama yang kutiduri tapi dia memang yang paling kunikmati. Dan aku terjebak dalam permainan yang kubangun sendiri.
"Nona Vanya, silahkan" Pria berkulit gelap itu membukakan pintu mobilnya untukku.
"Siapa? Kemana?" Tanyaku bingung.
"Paman menunggu anda" Katanya kemudian.
Aku mencoba mencerna kata-katanya untuk sejenak.
Paman?
Mungkinkan ini berhubungan dengan Elang?Begitu nama Elang terbesik, aku bergegas membuang pikiran lain dan masuk ke dalam mobil itu.
Seorang supir berpakaian rapi sudah ada di dalamnya dan langsung membawaku pergi entah kemana. Sebuah mobil sedan berwarna hitam mengikuti mobil ini dalam jarak yang cukup dekat.
Bodoh!! Untuk apa aku ikut. Bagaimana jika aku hanya mengantarkan nyawa sia-sia. Bagaimana jika aku hanya di jadikan tumbal lalu di buang tanpa sisa.
Ah, perduli setan. Toh aku bukan apa-apa, bukan juga siapa-siapa. Tidak ada yang akan menangisi kematianku. Tidak ada juga yang akan mencari-cari jasadku. Biarlah, akan aku hadapi kematian seperti seorang pahlawan di medan perang.
Sendiri. Mereka meninggalkan aku sendirian di ruangan besar bergaya eropa. Kursi besar yang berada di ujung ruangan tampak seperti singgasana sang raja. Aku bisa membayangkan sang paman duduk disana dengan bangga sambil memberi perintah dan terus menjalankan ide-ide jahatnya.
Suara langkah yang seirama terdengar nyaring di lantai marmer dengan ukuran besar.
"Selamat siang nona Vanya" Sapa seorang pria setengah baya dengan ramah.
Aku membangunkan diri mencari sumber suara yang terus berjalan mendekatiku.
Pria berwajah bijaksana dengan tawa yang ramah itu mengulurkan tangannya padaku.
"Saya Bhumi, pamannya Elang"
Ah...ini dia sang paman.
"Vanya. Vanya Sabila" Kataku membalas uluran tangannya.
"Maaf jika saya sudah mengganggu waktu nona" Katanya sambil mempersilahkan aku duduk lagi.
"Anda kenal saya?" Tanyaku penasaran.
"Tentu saja" Katanya kemudian duduk di hadapanku. "Mana mungkin saya tidak tahu wanita yang sedang berhubungan dengan Elang" Katanya kemudian.
"Apa Elang tahu anda membawa saya kesini?"
"Tentu. Saya sudah memberitahu dia"
"Apa dia akan datang?"
"Tergantung" Katanya kemudian tersenyum. "Tergantung seberapa penting nona bagi Elang. Jika cukup berarti baginya, mungkin dia akan datang. Tapi jika nona bukan apa-apa, mungkin ini akan jadi hari terakhir nona bisa mengenalnya"
Aku menghela nafas. Mencoba tetap sabar dan mengikuti permainan pria ini.
"Apa yang anda inginkan?" Tanyaku geram.
"Apa yang nona inginkan?" Tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku. "Siapa nona ini sebenarnya?" Tanyanya lagi.
Aku memilih diam. Menyandarkan punggungku ke kursi dan mencoba terlihat tetap tenang.
"Saya tidak mengerti maksud anda" Kataku santai.
Pria itu tersenyum lagi. "Harap nona jangan menganggap saya sedang mengancam, tetapi nona perlu tahu siapa dan bagaimana orang yang akan nona hadapi"
Aku mengernyitkan dahi. "Maaf, apa maksudnya?" Tanyaku lagi masih berusaha bersikap tenang dan pura-pura tidak tahu.
Pria itu membangunkan dirinya dari atas kursi dan berjalan mendekati kursi besar bak singgasana raja itu. "Mungkin kau bisa membodohi Elang, tapi tidak dengan saya" Katanya perlahan. "Cepat atau lambat, saya akan tahu siapa yang ada di belakang nona" Katanya santai sambil duduk di kursi singgasana berwarna coklat keemasan itu. "Saya tidak segan-segan menyingkirkan siapa saja yang menganggu kehidupan Elang"
Aku tertawa sinis "Lalu anda pikir saya mengganggu kehidupan Elang"
Pria itu tersenyum kecil. "Tentu saja tidak, nona. Bagaimana mungkin wanita secantik anda mengganggunya"
"Lantas siapa yang anda maksud?"
"Siapa? Hmm, siapa? Mungkin kunang-kunang atau tikus yang sedang kelaparan" Katanya lalu tertawa terbahak.
Dia berjalan perlahan mendekatiku lagi. "Nona hanya perlu bersenang-senang, beli pakaian yang mewah, hiasi jari-jari yang cantik itu dengan emas dan berlian, rawat tubuh yang sexy itu agar tetap halus dan lembut lalu layani Elang dengan baik" Katanya kemudian. "Itu. Hanya itu yang perlu nona lakukan". Pria itu menatap mataku dengan jeli. "Jangan campuri urusan perusahaan, jangan juga memberi saran apalagi mencoba mengatur pekerjaan Elang karena itu adalah tugas saya, nona"
Ah...pasti Elang telah melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan pamannya ini.
"Bisa di mengerti?" Tanyanya ramah.
"Bagaimana jika saya tidak tertarik dengan tawaran anda?"
Pria itu tertawa geli.
"Sepertinya nona salah paham"Aku mengangkat alis, tanda tidak mengerti.
"Saya bukan sedang memberi penawaran, tapi perintah!!" Katanya sembari memberi penekanan dan nada tinggi pada kata perintahnya.
"Jika nona masih ingin bersama Elang, mohon ikuti perintah saya. Jika tidak, nona bisa ucapkan selamat tinggal pada dunia yang indah ini. Mengerti, nona?!"
"Vanya!!" Panggil seseorang.
Suara itu, aku mengenalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret
RomanceAku bisa menjadi siapa saja, aku bisa menjadi apa saja. Aku akan melakukan apa saja asal bayarannya tepat, tidak kurang, tidak lebih. Tepat. Aku bisa jadi pewagaimu, aku bisa jadi pelayanmu, aku bisa jadi kekasihmu, aku juga bisa jadi pesuruhmu, tap...