Part 10 - Let me save you

42 1 0
                                    

I know...
I believe...
I'm sure...

Ya...aku tahu, aku percaya dan aku yakin pasti bukan kamu.

Tidak mungkin seseorang yang rela mengorbankan nyawa untuk orang lain, sanggup menjadi penyebab kematian orang lain.

Tidak mungkin tangan yang digunakan untuk menyelamatkan hidup orang lain, sanggup untuk merenggut nyawa orang lain.

Bukan, pasti bukan Elang.


Lalu siapa sebenarnya?

Siapa dalang di balik kematian sepuluh orang yang masih menjadi kecurigaan itu.

Aku harus menyelamatkannya.
Disisi manapun aku berdiri, aku harus bisa menjauhkan Elang dari tuduhan.


Aku mencoba mencuri waktu dari sesi shooting iklan yang di lakukan di pabrik obat milik Elang. Sekumpulan wanita sedang duduk berjejer di salah satu sudut pabrik bagaikan lalat yang tak di inginkan. Beberapa pria berseragam militer terlihat berjaga di sekitar para wanita yang sedang berdemo itu. Tulisan-tulisan yang mereka bawa cukup menyayat hati bagi yang membacanya, tapi sepertinya tidak lantas membuat para pekerja di tempat ini tergugah untuk sekedar bertanya ada apa dengan mereka. Beberapa hanya terus berjalan seakan tidak ada orang hidup yang sedang duduk dengan mata sayu di sudut itu. Beberapa hanya melirik tapi berekspresi apapun.

Dengan berpura-pura sebagai salah satu pengurus LSM, aku mendatangi mereka diam-diam dan mencoba mengorek informasi langsung dari mulut wanita yang sudah terlihat letih dan pedih. 

Salah seorang wanita menggenggam tanganku erat sambil terus meneteskan air mata menceritakan kematian suaminya. Seorang lainnya juga turut menangis sembari menceritakan tentang anaknya yang juga harus pergi tanpa ada kejelasan yang pasti. Dan mereka semua adalah karyawan dari pabrik ini. 

Anehnya, berita kematiannya tidak pernah tercium media. Bahkan kepolisian juga hanya menyelidiki tentang sepuluh pejabat negara yang meninggal tiba-tiba setelah mengeluarkan memorandum penolakan vaksin diare tingkat 4. 

Apa mungkin ini masalah baru lagi?


Dengan sedikit memaksa, aku minta Elang bertemu malam ini. Suaranya terdengar berat tetapi akhirnya Elang muncul juga. 

Seorang pria berjas hitam terlihat menunggu Elang di depan pintu restoran tempat kami bertemu. Wajah Elang terlihat kikuk dan tidak nyaman. Beberapa kali dia mencoba melirik ke kanan dan ke kiri seolah-olah waspada pada hal yang tidak nyata.

"Kenapa?" Tanyaku bingung.

"Ada apa?" Tanya Elang tanpa memperdulikan pertanyaanku.

"Aku berbicara dengan para pendemo yang ada di pabrik kamu tadi..." 

Dengan cepat Elang langsung mencium bibirku sebelum kalimatku selesai.

"Masalah itu sudah selesai" Bisik Elang ke telingaku.

"Tapi..."

Elang meremas lenganku perlahan lalu mendekatkan bibirnya ke pipiku seakan-akan mengecupnya. "Kamu hanya perlu mengiklankan produk baru itu. Jangan pikirkan dan jangan ikut campur soal lainnya"

Kali ini aku yang mendekatkan bibirku ke pipi Elang. "Tapi aku ingin ikut. Aku tidak bisa hanya diam dan jadi penonton" 

Elang mengelus pipiku dengan lembut. "Kita bicarakan lain kali. Aku harus pergi" Kata Elang lalu mengecup keningku.

Tanpa menengok lagi, dia pergi begitu saja. Meninggalkan punggungnya untuk kutatap dalam diam. Aku tidak suka. Aku tidak suka di tinggalkan. Aku tidak suka melihat punggung yang pergi menjauhiku. 


Tepat jam 1 malam, pesan singkat itu muncul.

"Aku di depan" Begitu isinya.

Sambil berlari kecil aku menemuinya di salah satu taman apartemenku.

Elang disana, dengan jaket kulit berwarna hitam dan sepeda motor yang pernah dia gunakan dulu.

"Aku pikir kau tidak perduli lagi padaku" Kataku kesal.

Elang memelukku dengan erat. "Sorry" Katanya singkat.

Kami duduk berjejer di taman yang sunyi. Bangku taman dengan cat berwarna merah yang sudah mulai pundar jadi saksi pertemuan rahasia kita kali ini.

"Apapun alasannya. Jangan ikut campur masalah itu" Kata Elang pelan.

"Kenapa? Ada apa?" Tanyaku perlahan.

Tapi Elang memilih diam.

"Kamu tahu apa yang terjadi dengan mereka? Suami, anak, tulang punggung keluarga mereka mati di pabrik kamu setelah mencoba obat yang kalian buat" Kataku.

"Itu memang pekerjaan mereka. Itu resiko yang harus mereka terima sebagai seorang 'tester' " Kata Elang parau.

"Jadi kematian sudah masuk dalam kontrak kerja mereka" Kataku sinis.

"Kami sudah menawarkan kompensasi yang besar tapi mereka menolaknya"

"Lalu kenapa mereka masih disana, bertahan di bawah sinar matahari yang membakar kulit mereka. Tetap diam meski hujan mengguyur tubuh mereka hingga kering dengan sendirinya"

Elang memilih diam lagi.

"Mereka butuh permintaan maaf. Mereka butuh pengakuan bahwa orang yang mereka cintai mati karena dedikasi pada pekerjaan bukan karena melanggar aturan"

Elang menatapku dengan nyalang. "Apa maksudmu melanggar aturan?" 

"Kamu gak tau?"

Elang menggeleng beberapa kali.

"Mereka di minta menandatangi surat pernyataan telah melanggar aturan kerja yang menyebabkan kematian pada diri mereka sendiri. Kompensasi?!! Cih, tidak pernah ada tawaran tentang itu sampai saat ini"

"Aku tidak pernah meminta itu" Kata Elang bingung.

Matanya menerawang jauh. Memandang langit hitam yang luas sembari mencari jawaban dari pertanyaan yang dia lontarkan sendiri.

"Sepertinya kamu tidak pernah menemui mereka secara langsung" Kataku lagi mencoba memancing reaksinya.

"Paman. Dia yang mengurus masalah itu. Dia bilang aku tidak perlu datang karena mereka meminta kompensasi sepuluh kali lipat dari uang yang kami janjikan"


Kulihat tatapan Elang masih kosong ketika berpamitan pulang. Pikirannya seperti melayang jauh ke negeri antah berantah dan terus berjuang mencari jalan pulang. Aku tahu ada sesuatu yang tidak ingin dia katakan. Ada hal yang belum bisa dia ceritakan dan lebih baik untuk tetap di sembunyikan. Apapun itu, aku percaya bahwa hatimu akan tergerak, karena kau seorang mailakat meski tanpa sayap dan bukannya iblis bermata api seperti yang mereka kira.

Kumohon, lakukan sesuatu supaya aku juga bisa menyelamatkanmu.

Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang