Epilog - "Aku juga mencintaimu, dan Sarada."

7.6K 470 41
                                    




-○○-



Seperti apakah rasanya sebuah kebebasan, dan bagaimana untuk mendapatkan kebebasan dari kesesakan kehidupan sehari-hari. Perlukah usaha yang keras untuk mendapatkannya? Atau perlukan menunggu sebuah keajaiban.

Ataukah hanya menunggu datangnya malam dan datangnya pagi.

Pada pukul delapan malam, setiap aku ingin melelapkan kedua mataku, persoalan yang sama sering muncul. Selalu dan selalu. Aku tercari-cari jawaban seperti apa yang paling cocok untuk menjawabnya.

Apa seperti berlarian memutari jalan raya, apa seperti berjalan melewati berbagai gedung-gedung tinggi. Atau apakah seperti burung yang berterbangan di atas cakrawala sana.

Kalau memang benar demikian, lalu bagaimana rasanya? Apakah nyaman, atau apakah membahagiakan. Apakah jika merasakan perasaan seperti itu, rasa sesak yang aku rasakan akan menghilang?

Rasa sesak menghimpit seluruh dadaku akan menghilang dan tidak akan pernah kembali. Kalau begitu..., aku bersedia mengarungi segala rintangan untuk mendapatkan kebebasan itu.

Koensikoensinya akan aku tanggung seberapa banyak pun luasnya. Aku akan mengapainya mengunakan kedua jemari kecilku dan mengejarnya dengan kedua kaki panjangku.

Lalu aku akan tersenyum lebar kearah awan-awan luas dan berkata ; aku bebas.

Pandanganku terarah ke objek lain, rasanya sudah puas mengutarakan isi hati yang selama ini aku pendam sembunyikan dari semua orang.

Album keluarga berada diatas pangkuanku, sekitar duapuluh menit aku menghabiskan waktu hanya untuk menatap dan menerawang. Seberapa indahnya senyuman gadis didalam album ini.

Rasa tidak ingin menyimpannya juga terlintas dibenakku. Tapi walaupun demikian, aku harus tetap menyimpannya kembali ke dalam lemari coklat tempat penyimpanan segala masa laluku. Segala memori hitamku. Semuanya tersimpan rapat.

Dan menurutku, itulah namanya kebebasan.

Senyummu terbentuk, tidak selebar yang aku inginkan namun cukup membayar rasa kecemasan diwajah kekasihku. "Boleh kita berangkat sekarang?" Tanyaku.

Ya, senyum tipisnya muncul. Senyuman pria yang selama setahun ini bersamaku, disisiku tidak pernah meninggalkanku. Bahkan walaupun dia diusir dari keluarga besarnya karena membelaku dan ingin mempersuntingku.

"Tentu."

Tangan besarnya menyentuh lembut punggungku sambil menyentuh album ditanganku membawanya ke atas lemari paling atas dan menguncinya. Setelahnya menoleh kembali kearahku dengan senyum simpul, kesukaanku.

Ya, menurutku inilah namanya kebebasan.

Dua, tigapuluh menit tepat, jarum jam bergerak bersamaan bunyi enjin mobil Sasuke berhenti. Oniks tajamnya yang tidak pernah berubah menatapku intens penuh makna, penuh perhatian, penuh kehati-hatian.

Penuh kewaspadaan. Seakan dia ingin memahami arti dari bola hijau hutanku. Seakan dia ingin mengorek jauh dari sudut hatiku, mengenali perasaan apa yang tengah aku rasakan. Mencoba bertanya melewati ruang rahasiaku.

ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang