Cinta selalu menggetarkan rasa yang sama
walau sudah lama berpisah.~
"Udah cantik April. Pecah nanti kaca spion mobilnya." komentar Rifi untuk April. Baru saja turun dari mobil sudah langsung mematut wajahnya ke dalam kaca spion.
April merilekskan mukanya sambil mengelus-elus pipi di depan kaca spion.
Rifi membenarkan baju dan celana. "Rapi belum?" matanya ia arahkan melihat ke baju dan ikat pinggang.
Tatapan April menyapu Rifi dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Sudah kok." jawab April. Tangannya mencoba merapikan dasi Rifi, sedikit miring. "Dah. Yuk." mereka berdua berjalan dari parkiran mobil menuju Auditorium UI. Lingkaran gandengan tangan April di tangan Rifi seakan-akan memanggil siapa saja untuk melihat bahwa mereka pasangan serasi. Padahal hingga hari ini, empat tahun sudah, hubungan mereka sebatas abang dan adik. Tidak lebih. Sebenarnya lebih, tapi di hati masing-masing. Mereka sama-sama belum pernah menyatakan perasaan.
Terkadang cinta dalam dada harus kita pendam lama. Menunggu waktu yang tepat. Hingga akhirnya waktu yang tepat tak pernah datang, ia diwakili oleh waktu yang telat, sehingga cinta yang tersimpan dan terpendam harus kita telan sendirian. Memang cinta itu indah dan penuh kemanisan, tapi menelannya sendirian seperti menyantap bara api.
"Eh, bunga?" Rifi menghentikan jalannya saat melihat orang-orang berseliweran memegang bunga. Rifi balik badan, hendak berlari menuju mobil. Belum Rifi berlari dan pergi menuju mobil, April menarik lengannya. "Nanti aja waktu udah dekat-dekat Hanny keluar gedung. Kan ngasih bunganya kalau Hanny udah selesai pindah tali topi toga."
Rifi menurut. Lalu mereka berdua lanjut jalan.
"Dimana tempat nunggu Hanny Fi?" tanya April sambil jalan. Rifi di sampingnya merogoh kantong saku celana depan.
"Enggak tahu deh. Gak tanya kemarin." Rifi menempelkan handphone ke telinga sebelah kiri.
"Dimana Han? . . . Oh. . . udah nih berdua sama April. . . Oke oke Han." handphone kembali Rifi masukkan.
April tidak ingin banyak tanya. Ia mengikuti langkah Rifi kemana saja. Masih tetap menggandeng tangan Rifi.
Rifi menghentikan langkahnya. Diikuti April. Mata Rifi menyebar ke seluruh penjuru lokasi wisuda.
"Itu mereka." kata April sambil membalas lambaian tangan Hanny.
"Sudah lama Yah?" Rifi sekalian menyalami dan mencium tangan Ayah Hermawan. Juga menyalami Bu Hermawan.
"Belum. Baru sepuluh menit." jawab Ayah Hermawan.
April membuntuti Rifi menyalami Ayah Hermawan dan Istri.
"Hei. Cantik banget kamu hari ini, Hanny." Rifi memegang kedua bahu Hanny. Mata Rifi terbelalak seakan-akan baru melihat Puti Salju.
Hanny tersipu malu. Ia salami dan mencium tangan Rifi.
Kemudian Hanny dan April sibuk ngobrol berdua. Selfie. Dan Rifi bincang-bincang bersama Ayah Hermawan, Bu Hermawan.
"Jadi kapan nih undangan disebar?" tanya Bu Hermawan, ia layangkan ke Rifi.
"Undangan apa nih Bu?" Rifi balik tanya dengan kening berlipat. Tidak paham apa maksud pertanyaan bu Hermawan.
Ayah Hermawan merangkul Rifi. Hari ini Rifi begitu berkharisma. Seakan-akan dirinya ikut diwisuda. Dengan setelan jas, dasi dan celana warna hitam. Kemajanya berwarna putih terang. Persis seorang Direktur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu & Kenangan
General FictionIni kisah terjadi di bumi Indonesia. Tentang impian dalam kesempitan kehidupan. Tentang harapan yang tak pernah kesampaian. Tentang kenangan yang muncul dalam upaya melupakan. Dan tentang cinta yang harus saling merelakan. Sebuah kisah cinta seoran...