***
Mentari kini telah turun, bersiap untuk tidur. Beberapa menit lagi, acara penutupan akan dimulai tetapi kepala bersurai hitam itu belum terpantau oleh matanya, Taeyong telah menyusun beberapa pragraf sebagai hadiah bagi Jung Jaehyun.
"Maaf." Taeyong memalingkan, Jaehyun kini tengah menunduk, sepertinya sedang mengatur napasnya. Taeyong dapat mendengar suara nafas berat, semua huruf yang telah dirangkainya mendadak luntur tak berbekas, dia bahkan tak mengingat huruf pertama dari paragrafnya. Semuanya telah hilang digantikan rasa khawatir. Taeyong mengelus lembut, sebelum akhirnya digantikan dengan tarikan pelan pada surai itu.
"Aku sudah menunggu lama, Jung Jaehyun." Serunya dengan main-main.
"Maafkan aku, Lee Taeyong. Ada yang harus kulakukan sebelum para maniak kerja itu melepaskan itu."
Taeyong melepaskan senyumnya, dia menarik perlahan tangan Jaehyun. Membereskan rambut itu. "Ayo nanti kita terlambat."
***
"Memangnya kita bisa melihat kembang api dari sini?" Jaehyun memberhentikan langkahnya, menatap Taeyong dengan pandangan menyerah.
"Mengapa kau selalu protes sebelum melihat hasilnya?"
"Aku hanya takut-."
"Trip kita berjalan lancar." Mata itu menatap sengit, Taeyong beringsut menjauh,
"Tapi kita tersesat." Jaehyun menghela napasnya, berbalik tampak kecewa.
"Kalau kau tak mau, kau tak perlu iku-." Tangan mungil itu terangkat, melingkar di lengan kekar Jaehyun.
"Aku bercanda. Kenapa kau jadi sensitif seperti ini?" Senyumnya itu terangkat, Taeyong kini berada disamping Jaehyun, mata itu berpedar sangat indah.
"Aku hanya-." Bibir itu terkatup tak memiliki lagi pegangan untuk berkata, ada sebuah lubang besar dibawahnya dan dia akan jatuh jika kata itu keluar.
"-takut kehilanganmu."
"Sudah jam berapa ini? Kita bisa ketinggalan acara utama." Menariknya dengan cepat, kaki itu melangkah bersama menaiki tangga.
Saat satu kakinya berhasil menginjak rootop, Taeyong melepas pegangannya, merentangkan tangannya, meluruskan setiap otot-ototnya.
"Kau sudah pasti menebak kalau kita akan kemari, bukan?" Taeyong berbalik, mengangguk memandang Jaehyun.
"Tentu saja. Tangga satu-satunya hanya menuju kemari." Jaehyun menggeleng perlahan, dia berjalan menjauh dari sisi Taeyong.
"Tapi kau salah. Kita bukan menuju kearah sana." Tangannya terangkat menunjuk sisi yang hendak dituju Taeyong, bahkan disertai dengan gelengan kepala. Tempat biasa yang mereka kunjungi jika berada di rootop.
"Lalu kita akan kemana?"
Seringaian mulai tercetak diwajahnya, dia lalu berjalan menyamping, seolah tubuhnya menutupi sesuatu sejak tadi.
"Kita akan kesana."
Mata bulat itu melebar. Taeyong tak tahu terbuat dari apa tetapi didepannya ini seperti sebuah tempat tidur beratap dengan renda berwarna putih dengan lampu terang dikedua tanduknya. Dia berusaha tenang, menarik keterkejutan dan senangnya agar tak terlihat terlalu bahagia.
"Bagaimana kita menonton dengan lampu yang terang seperti itu?"
"Kita tinggal memat-." Senyum Taeyong kembali terangkat, dia tak membiarkan Jaehyun berbicara. Dia menarik tangan Jaehyun hingga kini keduanya duduk bersampingan.
"Jam berapa kembang apinya dimulai?"
"Sebentar lagi." Suara itu terdengar lemah.
"Jung Jaehyun, kenapa kau tampak sedih?" Taeyong harus menahan tawanya.
"Kau tak menyukai kejutan-."
Hatinya meledak memberikan sebuah pecahan bintang-bintang indah bersamaan dengan pecahnya kembang api diatas kepala mereka. Taeyong hanya menempelkan bibir itu di pipi kanan Jaehyun tetapi semau itu berhasil menggantikan semua energi yang telah dia pakai.
"Terima kasih atas semaunya, Jung Jaehyun. Bagaimana kalau besok sebagai gantinya, kita jalan-jalan sungai Han."
***
Halo aku nggak pede sama chap ini >.<
YOU ARE READING
Will We Stay Like This?
RomanceTaeyong dan Jaehyun telah lama bersama. banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. sedih, senang, tawa dan canda, tak pernah mereka sadari, cinta itu tumbuh bukan sebagai sahabat tetapi juga cinta yang dalam, tak ada yang sadar dan tak ada yang m...