Hari Di mana Saya Bunuh Diri [Cerpen]

490 68 21
                                    


Inilah hari itu. Hari yang saya nantikan sejak semua yang saya lihat hanyalah samar dan buram. Hari di mana saya akan pergi dan tidak akan pernah kembali. Hari di mana saya akan ditemukan seseorang, diumumkan lewat pengeras suara masjid, dan gerombolan orang berbondong-bondong memasuki rumah saya. Mungkin, mereka akan berkata,'Sabar, ya!' kepada kakak saya—satu-satunya manusia yang memiliki hubungan pertalian darah dengan saya. Tuhan sudah mengambil Ibu saya ketika saya dilahirkan. Adanya saya, ternyata petaka bagi Ibu saya, seakan pertanda kalau kehadiran saya memang bertujuan merusak segalanya.

Bapak saya pun tak lebih dari seorang tukang becak yang saya anggap sudah mati. Ia dihukum puluhan tahun penjara untuk hal yang saya tidak benar-benar mengerti. Mungkin becaknya membawa sekilo ganja. Bisa jadi ia membawa penumpang seorang ibu dan bayi hasil curian. Bisa juga, ia bertengkar dengan sesama tukang becak dan salah satunya meninggal di tangan Bapak. Saya tidak tahu mana yang benar, mungkin saja ada sebab-sebab lain. Yang mana semua itu tidak lagi menjadi penting ketika saya di sini bermaksud membicarakan tentang hari ini.

Mengenai hidup, saya selalu bingung sendiri. Saya nggak pernah meminta Tuhan untuk menghidupkan saya. Kepada Tuhan, mohon koreksi kalau-kalau ternyata pada zaman dahulu kala, saya adalah seekor sperma yang menjerit-jerit minta bertemu sel telur. Tapi benar, seingat saya, saya nggak pernah kok bilang, Tuhan, saya mau hidup dong. Kalau tahu adanya saya membuat Ibu saya tiada, mungkin Ibu saya akan menyuruh sel telurnya luruh sebelum waktunya. Atau, Ibu saya jangan-jangan sedang bersuka cita saat malaikat maut menjemputnya? Punya anak yang bentuknya tidak menarik macam saya mungkin akan membuatnya sengsara. Tapi, soal hidup, saya memang tidak mengerti.

Saya tidak mengerti mengapa saya ada. Tidak mengerti mengapa saya harus ada, juga tidak mengerti saya ada untuk apa. Bisa jadi saya diciptakan agar orang-orang kaya raya, mapan, pintar, cantik, molek, dan hidup nyaman jadi sedikit bersyukur. Orang-orang berwajah rupawan akan berkaca di ponselnya begitu melihat saya, lalu dalam hati mereka berkata, "Oh, gue lebih baik dari dia.". Orang-orang kaya raya pun akan mensyukuri jejeran mobil yang ia miliki begitu mendapati saya yang hanyalah pejalan kaki. Juga mereka yang berotak cerdas, yang semula ingin menangis karena ulangan matematikanya mendapat delapan, akan tersenyum begitu melihat angka tiga di kertas saya.

Jika tujuan itu memang ada, mungkin saya diciptakan untuk membuat orang bersyukur dan sedikit takabur.

Seperti yang sudah saya katakan, bahwa ini hari yang saya nantikan, maka saya mandi dengan bersih. Saya habiskan seperlima sabun dari botolnya. Saya cuci rambut saya dengan dua sanchet sampo yang katanya wanginya tidak akan hilang sampai tujuh hari. Dengan artian, saat sudah dikuburkan selama tujuh hari, rambut saya tetap wangi. Saya juga sudah mengenakan baju terbaik saya, kemeja putih dengan gambar pohon kelapa. Juga saya kenakan celana pendek selutut warna hitam. Satu-satunya celana yang belum pernah dijahit ulang karena robek. Saya akan segera pergi, ke tempat di mana saya bisa mendapatkan segala kebutuhan yang bisa digunakan untuk mengakhiri apa yang tidak pernah saya minta untuk dimulai.

***

Tempat yang saya kunjungi adalah sebuah swalayan. Jaraknya entah berapa kilometer dari kontrakan saya. Untuk sampai ke sana, saya harus merogoh kocek empat ribu rupiah dengan angkutan kota warna kuning. Kemudian, saya berjalan beberapa puluh langkah sebelum menitipkan ransel hitam yang sedikit sobek di ujungnya. Ransel itu kosong, tetapi akan saya isi begitu saya selesai membeli beberapa barang.

Pertama, saya menuju lemari minuman dingin. Saya mengambil sebotol yogurt yang hanya bisa saya minum sebulan sekali. Sobat miskin seperti seperti saya manalah mampu meminum dua botol yogurt tiap hari. Sebulan sekali saja sudah suatu keberkahan. Pun, kakak saya sering menertawakan tiap saya meminum susu fermentasi itu lamat-lamat. Katanya, saya tidak pantas meminum minuman semacam itu. Namun, saya ingin minuman inilah yang ada di lambung saya sebelum saya tiada.

The EscapistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang