KARDUS [CERPEN]

1.2K 82 16
                                    


KARDUS

Karmin menendang kardus yang ia bawa sebelum melompat keluar gerbong kereta. Kardus itu terlempar ke tengah gerbong, posisinya sudah berubah terbalik. Penumpang dalam kereta memandang kotak hijau bertuliskan Paper One yang sudah terbalik, memerlihatkan dasar kardus yang berwarna putih.

"Pak, kardusnya Pak!" teriak seorang ibu.

"Hei kerdusmu ki lo, mbok tendang trus ditinggal ki piye?" kali ini seorang lelaki paruh baya berkaus hijau muda mengingatkan.

Telinga Karmin menangkap teriakan-teriakan penumpang, tetapi semua tak ia hiraukan. Langkah Karmin begitu pasti meninggalkan Prameks yang mengantarkannya dari Klaten ke Solo pagi ini.

Karmin berjalan gontai, melemparkan senyum lebar, entah pada siapa. Sejenak ia terhenti, membenarkan ransel hitam usang sebelum kembali berjalan menenteng kardus cokelat berisi gantungan kunci kayu yang akan dijualnya di Klewer. Sudah sepuluh tahun lebih ia menjajakan gantungan kunci di Pasar Klewer. Dan semenjak peristiwa kebakaran terjadi, ia pindah berjualan di alun-alun utara, tepatnya di bawah pohon beringin tua. Sambil terus berjalan, dari bibirnya yang menghitam tembang Jawa terdengar, lagu yang mengekspresikan kebahagiaan.

Peluit ditiupkan dan kereta mulai bergerak meninggalkan Stasiun Purwosari. Beberapa penumpang masih memerhatikan kardus yang ditendang lelaki setengah baya barusan. Kardus itu sudah terbalik, namun masih rapi terikat talia rafia.

Srek. Srek. Srek.

Samar-samar terdengar kegaduhan dari kardus itu. Perhatian penumpang terhadap kardus meningkat. Bahkan seorang lelaki berkemeja cokelat dengan rambut putih mendekat.

"Awas, Pak! Kulo wedi, pripun nek menawi niku bom?" celetuk perempuan muda yang duduk tak jauh dari kardus itu berada.

"Ah, paling gur sampah to yo," jawab lelaki tua itu. Tangannya dengan cekatan membalik kardus dan mengurai simpul temali yang tidak diikat mati. Beberapa pasang mata mulai berkerumun, membentuk lingkaran dan saling berbisik, seperti anak SD mengerubungi penjual mainan. Semua penasaran dengan isi kardus itu. Beberapa takut, beberapa berharap berisi makanan, dan segelintir lagi penuh curiga dan menyangka kardus itu berisikan sabu-sabu, ganja, atau psikotropika lainnya.

Simpul terakhir berhasil dilepas. Dengan kedua tangannya, lelaki berkemeja cokelat membuka penutup kardus. Kini, kardus itu terbuka dan ... terjadilah.

Seperti mendengar teriakan gempa, kerumunan berbentuk lingkaran itu langsung kocar-kacir, semua berlari ke tempat duduknya masing-masing. Beberapa nekat naik ke atas kursi penumpang.

Tidak ada yang menyangka, puluhan kodok besar berlompatan dari dalam kardus itu. Rata-rata berukuran sekepalan tangan orang dewasa, berwarna kuning dan hijau, beberapa berkulit totol-totol. Menjijikan.

Mendapat udara segar, kodok-kodok itu berkeliaran memenuhi gerbong. Melompat-lompat, beberapa berkejar-kejaran seakan-akan kereta adalah taman kanak-kanak mereka. Ada yang memilih eksis di koridor tetapi tak sedikit kodok introvert yang memutuskan untuk bersembunyi di bawah kolong kursi. Bahkan seekor kodok begitu iseng hinggap di sepatu seorang perempuan yang langsung terlonjak naik ke atas kursi, berteriak histeris sambil memeluk lelaki tak dikenal yang duduk di sampingnya. Astaga, ini romantis sekali.

Teriakan-teriakan penumpang perempuan memenuhi gerbong tiga. Beberapa memutuskan lari dan pindah ke gerbong terdekat daripada melihat sekumpulan kodok bertamasya dalam kereta. Sementara bapak tua berkemeja cokelat telah membungkus tangannya dengan plastik hitam dan berniat menangkap satu per satu kodok itu. Entah, ia ingin menenangkan penumpang lain atau bermaksud menjual kodok-kodok itu ke pengepul. Seperti yang sudah diketahui, kodok memiliki protein tinggi.

The EscapistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang