Yifan tersenyum melihat foto itu, "Aku tinggi seperti baba, dan Luhan pendek seperti mama," gumamnya lirih.
Yunhao ikut tersenyum mendengar ucapan Yifan, mendekap Yifan lebih erat dalam pelukannya, "Benar. Kau tampan seperti baba, dan Luhan cantik seperti mama."
Ini yang sering membuat Lihua mengomel sejak dulu, sekeras apapun usahanya untuk membuat Yifan memanggil Luhan dengan sebutan er ge, nyatanya Yunhao lebih sering keceplosan menyebut nama Luhan tanpa sapaan hormat jika dia tengah berbicara dengan Yifan. Hingga kini, Yifan lebih sering memanggil Luhan tanpa sapaan hormat karena kebiasaan Yunhao itu. Meski saat kecil keduanya sempat memanggil dengan sapaan baik yang sudah diajarkan.
Keduanya tertawa dan baru berhenti saat Yifan terbatuk. Yunhao mengusap lembut punggung Yifan, dan Yifan semakin merapatkan tubuhnya ke pelukan sang ayah, "Jangan sampai Luhan tahu kalau kita bilang dia cantik. Dia bisa marah," gumamnya.
"Ya, jangan sampai dia tahu, rahasiakan darinya," sahut Yunhao.
Mereka berada dalam posisi yang sama selama beberapa saat, sampai akhirnya Yifan tertidur. Yunhao meletakkan album foto di sisi meja yang terdekat dengan ranjang lalu membaringkan Yifan perlahan, menyelimuti putra bungsunya itu. Diusapnya wajah Yifan lembut. Dua puluh satu tahun sudah mereka lewati, tanpa terasa putranya sudah tumbuh dewasa. Menjadi seorang lelaki tampan dan membanggakan. Dulu, Yifan dan Luhan itu sangat kecil di mata Yunhao. Bahkan saat baru lahir, berat badan keduanya tidak mencapai tiga kilo. Tapi kini melihat keduanya tumbuh dewasa dengan baik membuat Yunhao terharu. Keduanya tumbuh dengan baik selama bertahun-tahun, hingga semuanya memburuk empat tahun ini. Pikiran pria itu gelisah mengingat banyak hal yang terjadi belakangan, dia menatap wajah Yifan yang terlihat tidak tenang dalam tidurnya. Yunhao merasakan ada penyesalan dalam dirinya karena dia merasa menjadi penyebab kondisi Yifan yang memburuk.
Dikecupnya pelipis Yifan perlahan, hatinya terus merangkai kata maaf tanpa menyuarakannya.
"Dia tidur?"
Pertanyaan Lihua sedikit membuat Yunhao terlonjak, dia menoleh dan mendapati Lihua tersenyum kepadanya.
"Dia baru tidur. Guixian di rumah sakit?" Yunhao balik bertanya pelan, sebisa mungkin menjaga suaranya agar tidak membangunkan Yifan. Yunhao sudah mendengar kabar dari Lihua tadi siang bahwa operasi Luhan berjalan lancar.
"Ya, dia langsung ke Rumah Sakit sepulang kerja."
"Kalau begitu kau istirahatlah dulu."
"Aku ingin tidur disini sebentar, menemani Yifan," sahut Lihua sambil menatap Yifan, dia mengusap puncak kepala Yifan perlahan.
"Apa Luhan sudah baik-baik saja?"
"Ya, kondisinya masih cukup stabil saat aku pulang. Semoga saja akan tetap seperti itu."
Yunhao paham, mereka sudah diberi pengertian atas hal itu sebelumnya. Operasi transplantasi jantung bukan masalah sepele. Dan kini mereka tengah berada di masa penantian apa jantung baru itu bisa beradaptasi dengan baik di tubuh Luhan atau tidak. Mereka yang menunggu saja bisa merasa seberat ini, apalagi Luhan yang mengalaminya? Tapi tetap saja tidak ada yang dapat mereka lakukan selain berharap dan berdo'a, membantu Luhan yang berjuang dengan hidupnya di sana.
"Bagaimana Yifan?" tanya Lihua setelah keduanya terdiam cukup lama.
Yunhao menghela nafas berat, dia menegakkan tubuhnya kemudian menatap Lihua.
"Aku takut," ujar Yunhao sambil menatap wajah Yifan. Pria itu lebih memilih mengutarakan isi hatinya dibanding menjawab pertanyaan sang istri.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Dwarf (Completed)
Fanfiction"Aku...mungkin seperti katai putih, kau tahu, dia bisa saja menjadi berlian raksasa walaupun dia mati. Bukankah itu indah?" "Tidak. Kupikir akulah katai putih itu. Bukankah katai putih itu serakah? Dia menyerap apa yang ada pada katai merah. Keserak...