Warning : Jujur saja paruh akhir part 12 diambil dari ide cerita lain bergenre religi, maaf kalau tidak berkenan, mungkin bisa diskip ✌☺
_________________________________________________
Tidak ada percakapan antara Luhan dan Yifan sejak Yifan memasuki ruang rawat Luhan dan berdiri di sebelah ranjang Yifan. Keduanya hanya saling bertatapan, berkomunikasi lewat tatapan mata. Hal yang tidak akan pernah bisa dipahami Guixian. Pria itu mendesah karena jengah, berdiri dari duduknya di sofa.
"Aku akan membeli kopi," pamitnya dan melenggang keluar dari ruangan tanpa menunggu jawaban kedua adiknya. Berharap Lihua masih berada di kantin Rumah Sakit sehingga dia bisa bergabung dengan ibunya.
"Bagaimana rasanya?" tanya Yifan setelah keduanya hanya berdua di kamar rawat.
"Perih, aneh," jawab Luhan, dengan jujur mengatakan apa yang dia rasakan.
"Apa kau masih bisa 'merasakanku'?"
Luhan terdiam sebelum mengangguk ragu, "Masih, tapi sedikit aneh."
Aneh yang dimaksud Luhan sebenarnya bukanlah tentang rasa samar atau kuat yang dia alami dalam merasakan ikatannya dengan Yifan, melainkan bagaimana beberapa hari ini rasanya dia ingin terus berada di dekat Yifan. Ingin Yifan berada dalam jarak pandangnya, seolah jika mereka jauh sehari saja itu akan membuatnya melewatkan banyak hal. Tapi Luhan menepis segala pikiran buruk, mungkin dia ingin Yifan di dekatnya karena belakangan jarang bertemu -- meski biasanya mereka juga jarang bertemu saat Luhan harus dirawat.
"Fan?"
Yifan menatap mata Luhan tanpa menjawab panggilan itu. Tidak apa-apa, dengan itupun Luhan sudah paham bahwa Yifan menanyakan apa maksudnya.
"Ayo keluar."
"Kemana?"
"Ke depan, aku bosan di sini."
"Memang dokter sudah mengizinkanmu duduk?"
"Belum sih."
"Ya sudah di sini saja."
Luhan menghela nafas, mengalah.
"Kau duduklah, ceritakan sesuatu padaku."
"Apa?"
"Apa saja. Kau kan pandai membual."
Yifan mendengus, mendudukkan diri di kursi sebelah ranjang Luhan. Sejak kapan dia pandai membual? Ada-ada saja. Kalau mengatakan hal yang tidak jelas dan tidak berguna memang iya, tapi kalau membual tidak juga.
Kadang-kadang saja.
Dan kadang-kadang Luhan lebih pandai membual.
"Bagaimana tentang white dwarf? Sudah menemukan kalau katai putih itu pasangan katai merah?"
Yifan menggeleng, "Aku pusing mencarinya. Membaca beberapa artikel justru membuatku tidak mengerti."
"Bodoh!" Luhan terkekeh mendengar jawaban Yifan, kemudian meringis karena dadanya perih.
"Enak saja," meski mulutnya menolak, tapi dalam hati Yifan mengakui kalau Luhan memang lebih pintar darinya. Luhan unggul dalam akademik, sedangkan Yifan dapat lebih diandalkan di non akademik. Itu juga yang terkadang membuat Luhan mengerjai Yifan, mengatakan informasi-informasi yang sedikit melenceng awalnya. Meski setelahnya Luhan akan tertawa dan meminta maaf kemudian memberi informasi yang benar kepada Yifan. Ya, sebenarnya kalau dipikir-pikir dari kejadian semacam itu Luhan memang lebih pandai membual dibanding Yifan, tapi hanya sekedar untuk main-main.
"Aku tidak tertarik lagi kepada bintang."
Perkataan Yifan membuat Luhan menatap mata Yifan tidak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Dwarf (Completed)
Fanfiction"Aku...mungkin seperti katai putih, kau tahu, dia bisa saja menjadi berlian raksasa walaupun dia mati. Bukankah itu indah?" "Tidak. Kupikir akulah katai putih itu. Bukankah katai putih itu serakah? Dia menyerap apa yang ada pada katai merah. Keserak...