Lihua pulang lebih dulu sore ini, bergantian menjaga Luhan dengan Yunhao yang baru pulang kerja dan langsung menuju rumah sakit. Dia sedikit heran saat mendapati rumahnya masih gelap, lampu belum dinyalakan walaupun sudah menjelang petang. Saat dia masuk, pintu pagar tidak dikunci. Itu artinya di dalam sudah ada minimal salah satu putranya.
Mungkin tidur, itu yang ada dalam pikiran sang ibu.
Memasuki rumah lebih dalam dan menyalakan saklar lampu, seketika rasa kesepian menyambut Lihua. Lihua sering merasakan ini jika sendirian di rumah, di saat-saat semacam ini misalnya, saat salah satu putranya dirawat di Rumah Sakit.
Namun kemudian senyum bahagia tersungging di bibirnya, senyum yang hampir seharian ini membuatnya lega tiada tara, membawa kebahagiaan dalam hidupnya.
Luhan akan segera mendapatkan donor jantung baru.
Mukjizat, itu kata Leehoom. Keberuntungan bagi Luhan karena pihak Rumah Sakit mendapatkan donor yang cocok dalam waktu yang bisa dibilang sangat singkat. Masih dalam hitungan hampir satu tahun sejak Yunhao mendaftarkan nama Luhan dan kini dia sudah menerima donor baru, mengalahkan mereka yang menunggu lebih dari tiga tahun. Donor itu berasal dari salah satu rumah sakit di luar kota. Pasien koma yang sudah tidak ada harapan untuk bertahan karena mati batang otak. Pihak keluarga menyetujui euthanasia, sekaligus bersedia mendonorkan organ tubuh pasien yang masih berfungsi. Beruntung jarak tempuh antar kota hanya berkisar dua jam, pihak Rumah Sakit akan melakukan pengawetan agar jantung mampu bertahan selama beberapa jam di luar tubuh. Besok pagi-pagi sekali, begitu jantung itu datang Luhan akan segera dioperasi.
*
Hampir satu jam Lihua berada di rumah. Dia sudah merapikan dapur dan kini masih menunggu mesin cuci mengeringkan pakaian Luhan dan Yunhao yang dia cuci. Matanya sedikit mengerling ke lantai atas.
Sunyi.
Bukankah ini terlalu sepi?
Seharusnya, siapapun putranya yang berada di rumah saat ini akan tersadar bahwa ada orang lain di rumah. Bahkan mungkin tergoda untuk turun dari kamar di lantai dua. Namun sejak tadi Lihua tidak mendengar apapun selain keributan yang dia ciptakan saat beraktifitas. Apa putranya benar-benar tertidur lelap?
Rasa penasaran mendorong Lihua untuk berjalan ke lantai atas, tempat semua kamar berada. Dia mengetuk pintu paling dekat dengan tangga, memanggil nama putra pertamanya.
Nihil.
Tangan Lihua menyentakkan handel pintu dan ternyata pintu masih terkunci. Lihua kembali berjalan, menuju arah yang berseberangan dengan kamar Guixian. Memilih menghampiri pintu paling ujung diantara dua pintu kamar yang bersisian, paling dekat dengan pintu keluar menuju balkon lantai dua.
"Yifan?" panggil Lihua sambil mengetuk pintu.
Tidak ada sahutan.
Lihua mulai berpikir apa putra sulung dan bungsunya tidak ada di rumah? Namun jika demikian, bagaimana pintu gerbang berada dalam kondisi tidak terkunci. Tanpa menunggu lama Lihua mencoba membuka handel pintu. Kali ini berhasil terbuka dan kegelapan ruang kamar seketika menyambutnya. Jendela kamar masih terbuka, lengkap dengan gorden yang berkibaran. Langkah kaki Lihua membawanya mendekat ke arah ranjang, tempat si bungsu meringkuk di bawah selimut tebalnya. Ada yang tidak beres disini. Lihua menyalakan lampu tidur agar tidak membuat Yifan terbangun. Cahaya yang berasal dari lampu di meja Yifan membuat Lihua dapat melihat wajah Yifan dengan jelas. Poni Yifan menempel di dahinya, berantakan. Wajahnya sudah dipenuhi keringat, sedikit berminyak dan pucat di saat bersamaan.
"Fanfan?" panggil Lihua pelan.
Yifan belum menyahut, matanya masih terpejam.
"Didi?" sekali lagi Lihua mencoba membangunkan Yifan, kali ini dengan menyentuh pundaknya pelan. Itu berhasil membuat Yifan mengerang.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Dwarf (Completed)
Fanfiction"Aku...mungkin seperti katai putih, kau tahu, dia bisa saja menjadi berlian raksasa walaupun dia mati. Bukankah itu indah?" "Tidak. Kupikir akulah katai putih itu. Bukankah katai putih itu serakah? Dia menyerap apa yang ada pada katai merah. Keserak...