-17-

1.5K 219 16
                                    

Seoul, 7 tahun kemudian


Hari Minggu adalah hari yang paling dinantikan oleh para siswa di seluruh dunia. Terbebas dari segala kegiatan di kelas yang memusingkan. Terbebas dari bosannya mendengarkan penjelasan guru mereka. Dan terbebas dari tugas-tugas yang menyita waktu untuk bersantai.

Seorang pemuda berusia tujuh belas tahun sedang menikmati waktu liburnya di Minggu pagi dengan berlatih menari. Menari adalah bagian dari hidupnya. Impiannya tentu saja menjadi seorang dancer profesional.

Jika saja seorang anak diperbolehkan melawan perkataan orang tua mereka, maka pemuda itu akan memilih mengambil sekolah tari sejak dulu. Daripada dia membuang waktu dan uang orang tuanya hanya untuk bersekolah di sekolah umum, namun otaknya tetap tak menjadi pintar.

Lagipula belajar bukanlah bakatnya. Jadi sebesar apapun usahanya, dia tak akan menjadi siswa yang pintar. Satu-satunya hal yang bisa dia banggakan adalah tariannya.

Namun hingga saat ini orang tuanya belum juga merestui pemuda itu untuk mengejar impiannya dan memasuki sekolah tari. Jadi sebagai anak yang baik, pemuda itu hanya menuruti semua keinginan kedua orang tuanya. Ya, selama dia tak dilarang untuk berlatih menari, itu tak menjadi masalah.

"Jimin – ah, cepat turun dan sarapan atau Eomma akan menjual speaker-mu yang berisik itu!" teriak seorang wanita berusia empat puluhan, yang tak lain adalah ibu dari pemuda bernama Im Jimin itu.

Jimin yang sedang berada di kamarnya di lantai dua, segera mematikan musik yang sejak tadi membantunya berlatih menari selama satu jam terakhir.

Kamar Jimin memang didesain cukup luas karena anak itu yang meminta agar bisa melatih tariannya di dalam kamar. Jimin merapikan sedikit tempat tidurnya kemudian segera turun menuju ruang makan. Di meja makan sudah ada kedua orang tuanya yang tentu saja sedari tadi menunggu Jimin untuk turun.

"Pagi, Eomma! Pagi, Appa!" sapa Jimin ceria, mengecup pipi sang ibu yang memasang wajah datar sambil mengambilkan nasi di mangkuk mereka.

Jimin tahu ibunya tak pernah suka jika dirinya terlalu menghabiskan waktu untuk menari karena ibunya pikir itu hanya membuang-buang waktu. Lebih baik waktunya digunakan untuk belajar atau mengerjakan tugas sekolah. Ya, begitulah pemikiran kebanyakan orang tua.

"Lain kali Eomma akan benar-benar menjual speaker-mu itu supaya kau tak bisa berlatih di dalam rumah lagi hingga melupakan waktu makanmu" gerutu ibu Jimin, Ahn Heeyeon.

"Maaf, Eomma. Aku tak akan mengabaikan panggilanmu lagi. Ah, Eomma sungguh cantik hari ini 'kan, Appa?" ucap Jimin mengerling pada sang ayah agar mau membantunya membujuk Heeyeon.

"Ne, Uri-Heeyeonie memang selalu cantik" sahut Im Hyunsik, ayah Jimin. 

"Berhenti menggodaku dan cepat habiskan makanan kalian" sahut Heeyeon kesal dengan wajah merona.

Jimin dan Hyunsik hanya terkekeh geli melihat wanita yang begitu mereka cintai kesal bercampur malu.

"Appa, hari ini aku akan ke rumah Hyung. Appa tak ingin ikut?" tanya Jimin dengan mulut yang penuh makanan.

"Berhenti memanggilnya Hyung. Dia bukan Hyung-mu. Dan telan dulu makananmu sebelum bicara, anak nakal!" sahut Heeyeon datar, selalu tak suka jika Jimin dekat dengan orang yang dia sebut 'Hyung' itu.

Jimin hanya diam sambil sesekali mencibir dalam hati. Dia sungguh tak tahu mengapa sang ibu sangat tak menyukai Hyung-nya itu. Padahal Hyung-nya adalah orang yang baik dan Jimin sangat suka mengobrol dengannya. Ya, meskipun dia sedikit dingin tapi sebenarnya dia adalah orang yang baik.

Changed ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang