"Kalau aku ingin dipeluk, bagaimana pun kondisi ku, kamu siap gak meluk aku?" tanya ku sambil menatap matanya. Dia memandang ku kembali, menampakan raut bingung lalu tersenyum.
"meluk kamu suatu kewajiban." Katanya mantab.
"kalau aku bau? Kalau rambut ku belum di cuci seminggu? Aku keringetan karna panas?"
"Kewajiban harus di jalankan" balasnya sambil tertawa.
Aku cemberut. Dia tidak pernah serius menanggapi bagaimana perasaan ku padanya. Dia hanya fokus dengan bagaimana programnya bisa menghasilkan.
Memandang nya yang begitu serius membuat ku tersenyum kecil. Detail dari wajahnya yang tidak pernah bisa ku lupakan. Bagaimana dia menarik kacamatanya yang turun dari hidung, bagaimana bibirnya tersenyum tipis saat ia berhasil memecahkan masalah, dan matanya yang hitam pekat dengan bayangku.
Sebentar.
Bayangku?
"Kamu ngeliatin apa sih sayang?" ucapnya sambil mengelus pucuk kepala ku. Aku nyaman saat ia perlakukan ku penuh dengan kasih sayang. Dimanja. Membuat ku merasa aman di dekatnya.
"ngeliat calon ibu dari anak ku.." gumam ku pelan.
Ah.
Tangannya berhenti mengelus rambut ku.
Tapi matanya tetap memandang ku. Masih ada aku disana.
Tangan ku menyentuh pipinya pelan. Mengelus nya.
"maaf.."ucapnya.
Aku tidak bergeming. Masih membagi kehangatan dari telapak tangan ku. Berharap perasaan ku bisa di bagi juga melalui sentuhan yang kulakukan sekarang.
"Untuk apa kali ini?" balas ku
"Untuk lahir di dunia dan menjadi penyesalan.." ungkapnya dalam. Kali ini sorot matanya sendu. Kalimat yang diucapnya pun begitu.
"aku tidak menyesal mencintai mu sepanjang hidupku."
Aku berdiri dan menarik dirinya jatuh dipelukan ku. Aku bisa merasakan bagaimana pelan tapi pasti baju di daerah perut ku basah karena air matanya. Dan aku bisa merasakan bagaimana pelan tapi pasti, perasaan ini hampir membunuh kami berdua.
Ku kecup pucuk kepalanya.
"Aku bersyukur kamu lahir di dunia dan menjadi sosok mu yang sekarang. Ini bukan salah salah siapa-siapa. Perasaan ini milik kita.." jelas ku pelan.
Ia mengeratkan pelukannya yang melingkar di pinggangku.
"Jika semua berbeda, maka akan lebih mudah.." gumamnya dalam tangis.
"sebaliknya sayang.. sebaliknya. Akan sulit untuk jatuh hati, jika itu bukan kamu, Reinata."
Gadis yang ku panggil Reinata itu melepas pelukannya pelan. Lalu menatap ku pelan.
"Aku Tarik perkataan ku.." katanya sambil mengusap air matanya.
Ia lucu sekali. Pipinya memerah dan matanya masih menahan tangis. Membuat ku jatuh hati berulang kali kepada sosok di depan ku saat ini.
"Memeluk mu bukan hanya suatu kewajiban. Tapi hak ku."
Aku tertawa mendengar kalimatnya. Dia memang selucu ini. Dia akan sangat mudah berubah menjadi pribadi yang manja jika bersedih.
"meski aku bau? meski rambut ku belum di cuci seminggu? Aku keringetan karna panas?" tanya ku lagi
"Hak ku untuk mendapat pelukan dari mu, Lucy Anasthasya!" Ucapnya manja.
Benar. Ia benar menggemaskan. Sampai aku sendiri tak sadar telah menempelkan bibir ku pada pemiliknya. Hanya mengecup pelan. Pertanda bahwa aku amat sangat menghargai hubungan kami. Pertanda bahwa aku mencintainya tanpa maksud.. hanya mencintai.
"Kalau kiss , hak juga kah?" goda ku .
Dia memukul bahuku pelan. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya.
"Sudah jam segini, ayo aku antar ke rumah sakit"
"Aku masih ingin bersama mu.." ungkap ku manja.
"Aku juga ingin begitu sayang.. tapi aku telah berjanji untuk menjaga kamu dan bayi dikandungan kamu." Ungkapnya sambil mencium kening ku pelan.
Aku tersenyum getir mendengar perkataannya.
"Ayo pergi, suami mu mungkin sudah menunggu disana."
END.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls At The Rainbow City (End)
Short StoryKalau aku jatuh kemudian cinta, sanggup kamu mendengar kisah penuh drama kepunyaanku?