Kereta Kehidupan

364 56 2
                                    

Kei menggenggam erat jam perak di tangannya. Ia memandangi lekukan halus pada penutup jam itu. Sepasang tangan yang terampil telah mengukirnya puluhan tahun yang silam.

Bulir-bulir bening mengalir dari pelupuk mata gadis itu. Kian lama semakin deras hingga terdengar suara isaknya. Badannya berguncang, kepalanya tertunduk dalam.

Gabriel terpana tak mengerti. Mata birunya memandang gadis yang baru saja dilamarnya itu lekat-lekat. Vika merangkul lalu mengusap punggung sahabatnya . Sehelai tisu diletakkannya di atas pangkuan Kei.

Kei merasa sangat bahagia sekaligus terluka. Sungguh sebuah perasaan yang sangat menyiksa. Hatinya ingin sekali berkata "iya" pada Gabriel. Menghabiskan sisa hidupnya bersama laki-laki itu adalah sebuah mimpi indah. Ia pun bisa membuat ibunya tersenyum bahagia saat memberi restu di hari pernikahan nanti.

Namun di sisi lain, akal sehat gadis itu berkata "tidak". Dia dan Gabriel terpisah oleh jurang yang terlalu dalam. Jurang keyakinan yang tak mungkin untuk diseberangi.

Angin malam menyelinap masuk lewat jendela. Cahaya purnama mulai redup tertutup awan. Tubuh Kei menggigil menahan rasa di hatinya.

"Gabriel, terima kasih telah memilihku, tapi ... maafkan aku... selama kita masih berbeda keyakinan, aku tidak bisa hidup bersamamu." Kei terbata di sela isak tangisnya.

Gabriel terhenyak mendengar jawaban gadis itu.
"Kamu tidak adil, Kei. Kau tak bisa memaksaku untuk mengikuti keyakinanmu." Rona kekecewaan memancar dari raut wajah laki-laki itu.

"Aku tidak pernah memaksamu."

"Apakah agamaku begitu buruk di matamu?"

"Aku tidak pernah bilang begitu. Aku menghargai pilihanmu."

Gabriel menghela nafas panjang. Ia benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Kei. Gadis itu menolaknya bukan karena cintanya tak berbalas, tapi karena alasan keyakinan yang berbeda.

"Kei, bukankah semua agama sama saja? Kita tetap bisa hidup bersama dengan keyakinan masing-masing." Gabriel kembali mencoba meyakinkan Kei.

"Jika memang semua agama sama, kenapa kamu tidak ikuti saja keyakinanku? Bukankah sama saja?"

Kei mulai bisa menguasai emosinya. Air matanya tak mengalir lagi. Gadis itu berdiri, berjalan mendekati Gabriel.

"Agama seperti rel bagi kereta kehidupanku . Pengabdian pada Allah adalah tujuan akhir lokomotifku. Saat ini kita berada di atas rel yang berbeda. Lalu bagaimana mungkin kita akan hidup di gerbong yang sama?"

Kei memasukkan jam perak itu ke dalam kotaknya. Ia menyerahkannya kembali pada Gabriel. Hati wanita itu hancur, namun tetap berusaha untuk tegar.

"Gabriel, tolong sampaikan maafku pada ibumu. Aku belum bisa menerima pemberiannya saat ini. Jika memang takdirku suatu saat nanti mungkin aku akan menerimanya lagi"

"Baiklah, Kei, jika itu keputusanmu. Setidaknya malam ini masih tersisa sedikit kebahagiaan di hatiku, ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan." Gabriel memaksa dirinya untuk tersenyum.

Laki-laki tegap itu membalikkan badan, ia pergi membawa sekeping hatinya yang kecewa. Suara langkah kakinya semakin lama semakin menghilang, namun bayangannya masih tampak jelas di mata Kei.

Vika memeluk erat sahabatnya. Kei menangis di pundak Vika.

"Apakah aku salah, Vik?"

"Tidak, tidak ada yang salah. Mungkin kalian berdua memang bukan pasangan yang tepat."

Kei mengusap air matanya. Hidungnya memerah, matanya sedikit sembab. Perlahan ke dua gadis itu berjalan menuju kamar.

Kei duduk termenung di atas tempat tidur yang ditutupi seprai putih bersih. Matanya memandang pekatnya malam melalui jendela. Hanya satu bintang yang tampak bersinar redup jauh di atas sana.

Pikiran gadis itu melayang ke kampung halamannya. Wajah ibunya menjelma dalam angan Kei. Kehangatan pelukan ibu sangat dirindukannya pada saat seperti ini.

"Ibu, aku kangen ... maafkan aku ...," bisiknya lirih.

Sesaat Vika keluar dari kamar mandi, wajahnya tampak segar setelah membasuh badannya dengan air hangat.

"Kei, berendam air hangat bisa bikin relaks, lho. Ini aku punya minyak aroma terapi, wanginya enak." Vika memberikan sebotol minyak ekstrak bunga lavender pada Kei.

"Hmm, sepertinya enak juga." Kei mencium botol itu.

Telepon genggam Kei berdering. Gadis itu "berdehem" memastikan suaranya tak serak sebelum menjawab panggilan itu.

"Halo, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Kei, gimana kabarmu, Nak? Ibu kok tiba-tiba kangen sama kamu?"

"Alhamdulillah, aku juga kangen banget sama Ibu." Kei menjawab antusias. Bisikan hatinya satu menit yang lalu seakan terdengar oleh ibunya.

"Kamu sehat, Kei? Kok suaramu bindeng?"

"Sehat, Bu. Ini aku lagi jalan-jalan sama Vika. Dia datang dari belanda tadi pagi." Kei memberi isyarat kedipan mata pada Vika agar ikut bersuara meyakinkan ibu.

"Tante, apa kabar?" teriak vika dari sebelah Kei. 

"Alhamdulillah, senang ya bisa bertemu teman lama." Seketika ibu Kei sudah tidak mempermasalahkan lagi suara anaknya yang sedikit berubah. Kei menceritakan pekerjaan kantornya yang menumpuk tak ada habisnya. Ibu bercerita tentang aktivitas barunya di majelis taklim dan juga beberapa tetangga yang cucunya baru saja lahir. 

"Ibu juga sudah ingin menimang cucu, seperti teman-teman ibu." Permintaan ibunya itu membuat kerongkongan Kei tersekat. Air mata yang telah ditahan sejak tadi kembali tumpah. Ya Allah kuatkan aku .... 

"Maaf, saat ini aku belum bisa memenuhi keinginan Ibu," ujar Kei perlahan. "Tetapi ... Andika mungkin bisa mewujudkanya lebih dulu, jika ibu segera merestui pernikahannya dengan Tiara."

"Kalau tentang itu keputusan ibu belum berubah! Ibu hanya akan mengizinkan Andika menikah kalau kamu sudah menikah, Kei." Ibu Kei berkata dengan tegas.Air mata Kei mengalir semakin deras. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. 

"Kei," terdengar suara Ibu dari seberang sana. "Ingat umurmu, tidak usah terlalu banyak pilih, jangan menetapkan kriteria yang terlalu tinggi, Nak! Kasihan juga Andika dan Tiara, mereka menunggumu, lho ...!" Mendengar itu luka hati Kei terasa semakin perih. 

"Kriteriaku tidak banyak, Bu," jawab Kei membela diri. "Aku hanya menginginkan seorang laki-laki saleh yang bisa menjadi imamku. Itu saja."

 Seperti biasa, percakapan Kei degan ibunya sering kali berakir seperti ini. Menggantung tanpa ada kesimpulan, dan membuat Kei merasa gundah beberapa hari selanjutnya. Vika kembali memeluk Kei erat-erat. 

"Maafkan aku tidak bisa banyak membantumu," bisik Vika di dekat telinganya. "Andaikan aku bisa menemukan lelaki saleh itu buat kamu, Kei ...."

"Tidak. Kamu sudah hadir di waktu yang tepat, Vik. Ketika aku benar-benar sedang membutuhkan seorang teman. Itu sudah lebih dari cukup."

VESUVIANA - Cinta di ItaliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang