Pesona di Masjid Biru

327 52 4
                                    

"Tuhan tak pernah salah pilih untuk memercikkan embun pada hati yang kerontang."


Tenggorokan Kei tiba-tiba terasa kering dan tersekat. Ia meletakkan biodata Mosab di atas meja. Gadis itu meraih cangkir dan menyesap mint tea yang sudah mulai dingin. Sayang, dalam kondisi seperti saat ini, minuman itu bahkan tak bisa memberikan sensasi nikmat pada indra pengecapnya.

Kei berjalan ke arah jendela, menatap jalanan yang mulai sepi. Tetes-tetes air hujan membuat kaca jendela itu sedikit buram. Cahaya temaram lampu jalan memberi kehangatan di tengah hawa dingin yang menyelimuti kota Napoli.

Pikiran Kei melayang ke rumah sakit, saat pertama kali ia bertemu dengan Mosab. Pertemuan tak disengaja yang cukup berkesan. Berbagai memori tentang Mosab muncul satu persatu bagai kaleidoskop dalam benaknya.

Selama ini, lelaki berkaca mata itu sama sekali tak pernah memperlihatkan tanda-tanda ketertarikan pada Kei. Bahkan, ketika berbicara pun, dokter muda itu hanya sesekali saja menatap wajah Kei. Intensitas pertemuan mereka pun bisa dihitung dengan jari.

Mengapa dia begitu yakin memintaku untuk menjadi istrinya? Apa yang dia harapkan dariku, wanita yang usianya lima tahun lebih tua? Pertanyaan itu berkelindan dalam pikiran Kei saat itu.

Gadis itu melangkah tanpa arah di ruang apartemennya yang mungil. Dengan tangan terlipat di dada, ia menelisik apa yang sedang dirasakan hatinya saat itu. Kei mencoba untuk jujur. Apakah ia juga memendam rasa yang sama untuk Mosab? Pria tampan dengan riwayat hidup yang nyaris sempurna. Segudang prestasi dan kiprah di organisasi masyarakat menghiasi biodatanya. Satu hal yang terpenting, agamanya pun baik, setidaknya begitu yang selama ini terlihat.

Kei menggeleng pelan. Tidak, ia tak bisa menemukan percikan perasaan itu di dalam hatinya. Hanya ada rasa kagum dan nyaman ketika bersamanya.

Bukankah kedua rasa itu sudah cukup untuk mengawali sebuah hubungan? Sisi logika gadis itu mencoba untuk menasihati dirinya.

Kei kembali duduk di sofa. Menatap foto Mosab yang tergeletak di atas meja. Wajah tampan itu tampak bersih bersinar. Sebuah tanda hitam samar terlihat di keningnya, telah menjadi saksi dari setiap sujud lelaki itu.

Ya Allah ... apakah dia jawaban atas doa-doaku selama ini? Seseorang yang tak pernah terbayangkan akan datang melamarku. Apakah aku sanggup mendampinginya hidup di Gaza sana?

Kei menghela napas dalam-dalam. Ia belum berhasil menemukan kecenderungan untuk Mosab di dalam hatinya. Namun, ia juga tak punya alasan yang kuat untuk menolak lelaki saleh itu. Bukankah jika datang lelaki saleh untuk meminang tak baik jika ditolak?

Gadis itu segera berwudhu, lalu tenggelam dalam sujudnya. Bermunajat, mengadukan rasa bimbangnya kepada Yang Maha Mengatur segala urusan. Bagi manusia dengan pengetahuan yang amat terbatas, semuanya terasa begitu rumit. Ia sangat membutuhkan Allah untuk memilihkan rencana terbaik dalam hidupnya.

***

Pesawat Alitalia mendarat dengan sempurna di Bandara Sabiha Gokcen Istanbul. Gabriel duduk di kelas ekonomi, memandang ke luar jendela, mengintip suasana Istanbul. Kota yang terletak di dua benua : Asia dan Eropa.

Lelaki itu merapikan semua barang bawaannya. Ia memasukkan buku bacaan ke dalam ransel kecil yang baru saja dikeluarkan dari tempat penyimpanan di cabin pesawat. Lelaki itu mengusap wajah dan membenahi rambutnya yang sedikit berantakan. Kemudian ia mengenakan kaca mata hitam tanpa bingkai. Semoga perjalanan ini menyenangkan, batinnya.

Gabriel membenamkan tangan ke dalam kantong jaketnya. Angin musim semi berembus cukup kencang siang itu. Perjalanan kali ini cukup mendebarkan. Tak seperti biasa, tujuannya berkunjung ke Istanbul bukan semata-mata untuk melancong. Namun, ada misi khusus yang mungkin akan berpengaruh besar dalam hidupnya.

VESUVIANA - Cinta di ItaliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang