Aku Saudaranya

370 54 0
                                    

Apartemen Kei tak jauh dari stasiun Napoli. Bangunan berlantai 6 itu tampak kusam, berdiri di sebuah jalan sempit yang dipenuhi oleh toko dan restoran. Beberapa bagian catnya yang berwarna coklat muda mulai mengelupas akibat menahan teriknya panas dan dingin salju setiap tahun. Tepat di depan bangunan itu teronggok sebuah kontainer sampah besar yang sering meluap isinya. Beberapa meter dari sana terdapat sebuah toko buah dan sayuran kecil langganan Kei.

Sore itu, sepulang kerja, Kei mampir di toko buah. Ia membeli Zucchini, tomat, terung, dan paprika. Kei berencana membuat ratatouille untuk menu makan malamnya. Gadis itu juga membeli sepotong roti gandum forno alegna sebagai pengganti nasi. Dulu ketika awal datang ke Italia, Kei tidak terlalu suka dengan roti gandum berkulit keras itu. Tapi, lama-kelamaan lidah gadis itu sudah mulai terbiasa dengan roti yang menguji kekuatan gigi itu .

"Signora, sudah lama tidak datang ke sini," ujar ibu pemilik toko.

"Akhir-akhir ini aku sering ke luar kota, jadi jarang masak."Kei menjawab dengan ramah.

Ibu pemilik toko memberi bonus sekantung kecil buah persimmon yang sedang berbuah lebat di halaman rumahnya. Katanya, waktu yang tepat untuk memanen buah yang mirip dengan kesemek itu adalah ketika daun-daunnya sudah berguguran. Saat itu rasa kelatnya sudah berganti manis dan daging buahnya pun sudah lembut.

Kei memasuki apartemen kecilnya dengan tangan yang penuh dengan kantung belanja. Ketika memasuki ruang tengah, tak sengaja matanya melirik lukisan Gabriel yang tergantung di dinding. Dalam lukisan itu ia sedang berdiri di halaman Villa Lemon Tree.

Bayangan Gabriel kembali berkelebat dalam pikirannya. Upayanya untuk melupakan laki-laki itu sama sekali belum berhasil. Kei menurunkan lukisan itu dari dinding dan meletakkannya di balik lemari. Gadis itu pun meraih ponselnya lalu menghapus nomor kontak Gabriel. Segala usaha dilakukannya agar ia tak lagi teringat pada laki-laki itu.

Sepiring ratatouille, tumis pedas ikan baccala, dan sepotong roti gandum terhidang di meja makan. Kei menyalakan TV untuk menemani makan malamnya yang sepi. Seorang penyiar perempuan tengah melaporkan berita terkini.

Sebuah aksi teror terjadi di Paris pagi ini. Tiga orang bertopeng melakukan penyerangan dengan senjata api ke kantor sebuah majalah satir di kota mode itu. Kabarnya 12 orang tewas dalam insiden tersebut. Ada saksi yang mendengar pelaku meneriakkan kata "Allahu Akbar" saat melakukan aksinya. Para pemimpin negara Eropa mengutuk keras aksi tersebut, termasuk juga Perdana Menteri Italia.

Kei bergidik melihat berita tersebut. Kejadian itu sedikit banyak akan berefek pada kehidupan kaum muslimin yang minoritas di benua biru ini. Sebagian orang yang tidak suka kepada Islam akan menggunakan isu tersebut untuk menampakkan kebenciannya dengan terang-terangan. Lebih parah lagi, jika parlemen menetapkan kebijakan yang mempersulit aturan keimigrasian serta larangan mengenakan simbol-simbol keagamaan. Hal itu akan menyulitkan umat Islam yang umumnya berstatus imigran.

Tak terasa makanan di piring Kei sudah hampir habis. Ia membersihkan sisa bumbu tumis baccala dengan beberapa potong roti terakhir. Piring gadis itu pun bersih tak bersisa. Secangkir teh kamomil hangat menutup makan malamnya hari itu.

***

Pagi itu Kei sibuk menyelesaikan revisi manuskripnya yang sudah mendekati tenggat waktu. Ia tak sadar sudah masuk waktu makan siang.

"Ciao, Kei. Lunch?" Seorang kolega menyapa Kei.

"OK, aku menyusul."

Biasanya gadis itu makan siang bersama teman-teman satu grupnya. Saat makan siang adalah waktu untuk bersosialisasi dan saling menjalin keakraban sesama mereka.

VESUVIANA - Cinta di ItaliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang