A cup of Love

582 86 1
                                    

"Masa lalu adalah cara Tuhan untuk memberi pelajaran terbaik,bukan penyesalan yang tak berkesudahan"

Pulau Capri

Bersih-bersih adalah rutinitas Gabriel setiap Sabtu pagi. Lelaki itu tengah menyeka debu yang menempel di tiap sudut perabotan kamar tamu. Tangan kekarnya yang berambut kemerahan, bergerak cekatan. Tentunya itu hasil dari latihan selama bertahun-tahun mengurus villa Lemon Tree.

Tanpa sengaja siku Gabriel menyenggol sebuah pigura yang terpajang di meja rias. Benda itu terjatuh, pecah berantakan. Mata birunya menatap foto itu beberapa saat. Ia menarik napas dalamdalam, angannya menerawang jauh. Kerinduan pada Silvana--gadis cantik yang digandengnya dalam foto--kembali menjelma.

Gabriel menunduk untuk mengumpulkan serpihan kaca di lantai, persis seperti ia mengumpulkan kepingan hatinya yang hancur ketika ditinggal oleh Silvana. Foto itu pernah menjadi benda sangat berharga baginya. Ia membelai wajah gadis yang ada di dalam foto. Sejenak Gabriel merasa ragu, apakah akan tetap menyimpan foto itu? Setiap kali melihatnya, luka yang sudah mulai mengering akan kembali terbuka. Kenangan bersama Silvana selalu muncul bagai kaleidoskop dalam mimpi Gabriel. Semua terasa begitu nyata, sampai akhirnya ia terbangun dan menyadari bahwa itu hanya bayangan semu. Kini ia tinggal sendiri dan Silvana tak akan pernah kembali lagi.

Akhirnya, Gabriel memutuskan untuk membuang foto dan bingkainya yang sudah patah ke tempat sampah di dapur. Ia berharap kesedihannya pun ikut terbuang bersama benda-benda itu. Signora Alfano yang sedang membuat saus lasagna, melirik dengan sudut matanya."Setelah tujuh tahun lamanya, akhirnya foto itu kaubuang juga." Wanita berambut perak itu berkomentar tanpa memalingkan wajah dari kompor.

"Sudah pecah, tidak perlu disimpan lagi. Biarlah semuanya menjadi masa lalu," ujar Gabriel datar.

"Rasanya aku sudah mengatakan hal yang persis sama dengan kalimatmu itu sejak tujuh tahun yang lalu. Ternyata baru sekarang kau mendengarkannya."Signora Alfano mengomel sambil menggelengkan kepala. Sementara aroma lezat saus lasagna mengepul dari panci di hadapannya.

"Ya, mungkin butuh waktu tujuh tahun bagiku untuk bisa memahami perkataan itu, Ma."

Kala itu kebahagiaan sudah berada di depan mata. Gabriel dan Silvana akan segera menikah. Semua keperluan pesta sudah disiapkan. Namun, ternyata Tuhan punya rencana lain. Sebulan sebelum mereka menikah, Silvana mengalami kecelakaan dan nyawanya tidak tertolong lagi. Gabriel benar-benar terguncang. Luka hatinya terlalu dalam, sampai-sampai ia mempertanyakan keadilan Tuhan. Sampai sekarang Gabriel masih menyimpan cincin pertunangan dengan Silvana. Tak seorang perempuan pun yang diizinkan singgah di hatinya. Tujuh tahun terakhir ini adalah masa-masa terberat dalam hidup lelaki itu.

"Kemarin aku menemukan sapu tangan ini di kamar tamu." Suara ibunya memecah lamunan Gabriel. Beliau menyodorkan sehelai sapu tangan putih berhias renda merah jambu. Sebuah nama tersulam cantik di salah satu sudutnya. Keiara.

"Sepertinya ini punya, Kei."Gabriel mengamati sapu tangan itu. Tiba-tiba, hatinya serasa tergelitik saat menggenggam benda tersebut. Wajah ceria dan polos gadis asing itu muncul dalam pikirannya. Ada getaran halus tak biasa yang sulit dijelaskan.

"Besok kalau kau ke Napoli, kembalikan sapu tangan itu padanya," saran Signora Alfano. Wanita itu menatap lekat mata anak laki-lakinya. Gabriel tersenyum tipis lalu mengangguk.

***

Napoli

Kei mematut diri di depan cermin. Tunik lembayung yang ia kenakan sangat cocok dengan warna kulitnya yang terang. Kerudung bermotif abstrak dengan warna senada, membuat penampilan gadis itu semakin anggun. Wajah polos tanpa polesan itu terlihat segar dan berseri.

VESUVIANA - Cinta di ItaliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang