Keyakinan Tanpa Syarat

413 58 13
                                    

Sebuah kompleks pemakaman terhampar luas. Rumput hijau yang terpangkas rapi dihiasi dedaunan kuning yang berguguran. Seorang laki-laki bermantel coklat duduk di samping batu nisan yang berukirkan nama 'Silvana'. Gabriel.

Ia meletakkan seikat mawar putih di atas makam yang ditutupi dengan pualam abu-abu. Mawar putih adalah bunga kesukaan Silvana. Tujuh tahun yang lalu, Gabriel melamar Silvana dengan setangkai mawar putih yang telah diselipkan cincin perak di batangnya. Masih terbayang jelas di benak Gabriel, manisnya senyum Silvana saat menerima sekuntum mawar darinya.

Bagaimana kabarmu di sana, Silvana? Benarkah ada kehidupan setelah mati seperti yang dikatakan Kei? Gabriel berkata dalam hati. Laki-laki itu mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar makam Silvana. Ah, aku lupa, kau pasti tidak kenal dengan Kei. Dia adalah wanita yang membuatku banyak tersenyum sekaligus berpikir akhir-akhir ini.

Embusan angin musim gugur membuat suasana makam itu semakin terasa dingin. Mendung menggelayut di langit seakan mengerti suasana hati Gabriel.

Laki-laki itu mengencangkan syal tipis yang membalut lehernya. Tangannya mengambil sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah cincin perak, tanda pertunangannya dengan Silvana.

Sejenak ditatapnya cincin itu, lalu digenggamnya erat-arat. "Silvana, semoga kau bahagia di sana," bisiknya lirih. "Izinkan aku untuk melanjutkan hidupku. Jika memang kehidupan setelah mati itu benar ada, kuharap kita bisa bertemu lagi."

Mata biru Gabriel berkaca-kaca. Hatinya pilu. Namun, inilah pertama kalinya Gabriel mengucapkan salam perpisahan pada Silvana dengan rasa rela dan hati yang lapang.

Laki-laki itu meletakkan cincin peraknya di dekat mawar putih yang menghiasi makam Silvana. Ia berdiri, lalu mengayunkan langkahnya keluar dari area pemakaman. Gabriel meninggalkan cincin yang telah disimpannya selama tujuh tahun itu, tergeletak pasrah tak bertuan. Jauh di depan sana, sebuah hidup baru telah menantinya.

***
Priiit!

Hampir saja terlambat! Suara peluit petugas stasiun memekik nyaring. Gabriel berhasil menyelinap ke dalam gerbong kereta Freccia Rossa tepat sebelum pintunya ditutup. Nafasnya terengah-engah setelah berlari dari ujung peron. Ia tak mengira kunjungannya ke makam Silvana akan memakan waktu begitu lama.

Rangkaian gerbong merah itu melesat menuju Roma. Suara mesinnya halus, nyaris tak terdengar. Gabriel duduk di dekat jendela sambil membaca buku yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu. Buku tersebut berjudul Islam karya Ismail Al Faruqi. Laki-laki itu berusaha mencerna isi dari setiap halaman yang dibacanya. Sesekali ia menyesap minuman soda kalengan yang dibelinya di depan stasiun.

Sejak kejadian teror di Paris beberapa waktu lalu, Gabriel menjadi tertarik untuk mengetahui tentang Islam lebih jauh. Menurut berita di televisi, para pelaku penembakan itu beragama Islam. Ia tak habis pikir, mungkinkah agama yang dipegang teguh oleh Kei, sampai-sampai gadis itu menolaknya, ternyata melahirkan para teroris? Sejauh ini, sosok muslim yang dikenalnya sama sekali tidak punya ciri sebagai seorang teroris. Kei, Mosab, dan orang-orang yang hadir di acara Muslim Festival, mereka semua tampak begitu baik dan ramah.

Pekan lalu, Gabriel sengaja datang ke apartemen Mosab untuk meminta rekomendasi seorang guru yang dapat menjelaskan Islam padanya. Pemuda Palestina itu menyarankan Gabriel untuk menemui Muhammad Hassan, seorang Mesir yang saat ini menjadi imam di masjid Roma. Itulah tujuan perjalanan Gabriel ke ibu kota Italia hari ini.

Seperti biasa, stasiun Roma dipadati oleh para wisatawan dari segala penjuru dunia. Beragam bangsa, warna kulit, dan juga perilaku berkumpul di sana. Kota tua ini seakan punya magnet tersendiri. Orang-orang berdatangan untuk menyaksikan sisa-sisa peradaban Romawi yang telah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu.

VESUVIANA - Cinta di ItaliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang