Dejavu

402 58 6
                                    

Gabriel berjalan menuju ke ruang makan sambal meringis. Sepertinya pengaruh suntikan anestesi di tubuhnya sudah hilang dengan sempurna. Mosab yang sedang sibuk memanggang roti nan keju memandang Gabriel prihatin. Sepertinya puncak rasa sakit akan dirasakan oleh laki-laki itu malam ini.

"Kalau tidak tahan, kau boleh minum obat penawar sakit lagi malam ini," saran Mosab sembari meletakkan semangkuk besar kari ayam di atas meja. "Tapi lebih baik kita makan malam dulu."

Dua piring nan keju yang baru saja dikeluarkan dari oven akan menemani makan malam mereka. Aromanya begitu meggiurkan.

Gabriel duduk lalu mulai mengunyah nan yang sudah dicelupkan ke dalam kuah kari. Rotinya yang lembut sangat cocok dimakan dengan kari ayam yang kaya rempah.

"MasyaAllah ... masakanmu enak sekali, Bro! Sampai membuatku lupa dengan rasa sakitku," puji Gabriel. "Istrimu kelak pasti akan senang, punya suami pintar memasak."

Mosab tertawa mendengar pujian yang berlebihan itu. Setiap hari lelaki itu harus menyiapkan makanannya sendiri, tak heran jika kemampuan memasaknya terus terasah. Apalagi di italia ini tidak mudah untuk mendapatkan makanan halal di luar sana.

"Istrimu nanti juga akan sangat beruntung!" timpal Mosab tak mau kalah.

"Kenapa?"

"Karena dia akan mendapat pujian setiap hari dari suaminya."

Gabriel tertawa lebar. Ia tak pernah berpikir kalau dirinya akan segombal itu.

"Ya ... sayangnya orang yang beruntung itu masih belum terlihat sampai sekarang." Gabriel tersenyum tipis, pandangannya menerawang jauh.

Mosab memandang temannya itu. Ia bisa membayangkan perasaan Gabriel. Usianya sepuluh tahun lebih tua dari dirinya dan belum menikah. Kini dia sudah menjadi seorang muslim, tentu dia akan lebih selektif lagi untuk memilih calon istri.

Tiba-tiba Mosab teringat pada Kei. Dia terlihat begitu serasi dengan Gabriel ketika mereka bertemu di acara konser musik waktu itu. Gadis itu pun terlihat begitu perhatian pada Gabriel.

"Apa kau sudah punya calon?" Tanya Mosab berhati-hati. Meskipun akhir-akhir ini mereka cukup sering bertemu dan berdiskusi, tetapi belum pernah membahas masalah pribadi.

"Apa kau punya kandidat?"

Entah mengapa wajah Kei kembali muncul di benak Mosab. Secara logika, jika mereka berdua menikah, mungkin Kei dapat melanjutkan tugasnya untuk membimbing Gabriel belajar Islam lebih intensif. Namun, perasaan Mosab masih belum bisa menerima. Membayangkan kedua orang itu bersanding di pelaminan saja rasanya ia belum rela.

"Saat ini belum," jawab Mosab singkat.

"Bagaimana pendapatmu tentang Kei? Kurasa saat ini kau lebih banyak berinteraksi dengannya."

Pertanyaan Gabriel itu melesat seperti panah menyasar tepat ke ulu hatinya. Rasanya pedih tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Perasaan kecewanya kembali muncul. Namun, ia mencoba menahan emosinya sekuat tenaga. Mosab tidak ingin Gabriel mengetahui tentang kisahnya dengan Kei.

"Dia gadis yang baik," jawab Mosab datar. "Agamanya baik, cantik, dan juga cerdas."

Gabriel tersenyum, lalu memandang wajah Mosab lekat-lekat.

"Jika menurutmu Kei adalah sosok yang cukup ideal, mengapa kau tidak melamarnya?"

Pertanyaan itu membuat jantung Mosab seperti berhenti berdetak beberapa saat. Ia tak mengerti mengapa Gabriel bertanya seperti itu. Pria Palestina itu benar-benar kehilangan kata-kata. Otaknya berpikir keras memikirkan respon yang harus diberikan.

VESUVIANA - Cinta di ItaliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang