Malam Terindah

358 57 7
                                    

Musim dingin membekukan kota Napoli. Serpihan salju menghapus semua warna di kota itu, dan mengubahnya menjadi putih. Namun, manusia tidak tinggal diam. Mereka menghiasi jalanan dan pepohonan dengan lampu-lampu cantik yang berkelap-kelip. Malam yang dingin menusuk tulang, seakan berubah menjadi hangat dan ceria, menanti datangnya Natal dan tahun baru.

Dua bulan sudah Kei menolak lamaran Mosab. Sejak saat itu, Mosab tak pernah membahas apapun tentang perkara tersebut. Kadang Kei merasa bersalah dan agak kikuk saat bertemu Mosab. Namun, lelaki itu bersikap seakan tidak pernah terjadi apapun di antara mereka. Semuanya tetap sama seperti biasa.

Waktu dua bulan ini adalah masa-masa yang penuh kontemplasi buat Kei. Gadis itu mencoba terus merawat luka hatinya yang sedikit demi sedikit mulai mengering. Untungnya, Ibu tidak lagi menanyakan tentang calon menantunya yang belum juga datang. Begitu pula dengan Gabriel. Lelaki bermata biru itu menghilang entah kemana. Ia sama sekali tidak pernah menghubungi Kei lagi. Setidaknya hal itu mempermudah Kei untuk kembali menetralkan hatinya.

Perlahan Kei kembali hanyut dengan aktivitasnya sebagai seorang peneliti. Waku-waktunya digunakan untuk berjibaku dengan tumpukan manuskrip yang menuntut perhatian penuhnya. Saat ini yang ada dalam pikirannya hanyalah berusaha untuk terus produktif menghasilkan karya yang bermanfaat bagi dunia.

Sabtu sore, Kei atang ke masjid untuk mengajar anak-anak mengaji. Tak seperti biasanya, jama'ah shalat Ashar masih ramai berkumpul di tempat itu. Kei langsung berjalan menuju ke tempat shalat wanita, kemudian duduk di balik hijab yang memisahkan ruang itu dengan tempat shalat laki-laki.

Terdengar suara Imam berbicara dengan pengeras suara. Beliau mengumumkan bahwa sore itu ada yang akan melakukan prosesi bersyahadat. Setiap kali ada peristiwa seperti ini, biasanya selalu berakhir dengan haru. Tak heran jika banyak orang yang ingin menyaksikan acara yang sakral itu. Momentum di mana kekuasaan Allah Yang Maha Pemberi Hidayah terbukti nyata.

Terdengar suara seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan kalimat yang patah-patah. Namun, suara itu bergetar, memancarkan gelombang keimanan yang membuncah di dalam hatinya.

"Allahuakbar!"

Para jamaah yang menjadi saksi bertakbir memuji kebesaran Allah. Gema takbir yang memenuhi ruangan masjid membuat Kei merinding. Mata lebar gadis itu pun mengembun. Meskipun ia tak kenal dengan sang muallaf itu, tetapi rasa haru dan bahagia menyelimuti hatinya.

Aku iri padanya, batin Kei. Hari ini, Allah mengampuni seluruh dosa orang itu di masa lalu. Ia kembali bersih seperti bayi yang baru lahir. Sedangkan aku, masih berlumur dosa dan terus mengemis ampunan Allah.

"Maestra, ayo kita mengaji!" Suara seorang anak kecil memecah lamunan Kei. Anak kecil itu mengeakan kerudung hitam yang kebesaran. Bola mata coklatnya berbinar-binar, memancarkan semangatnya untuk belajar Al quran.

Kei segera menyeka matanya lalu tersenyum. Ia tak ingin menghapus senyuman anak itu karena melihat air matanya. Ia meraih tangan kecil itu lalu menggandengnya ke dalam kelas.

Usai Shalat Maghrib Kei berjalan pulang. Jam masih menunjukkan pukul enam sore, tetapi langit sudah kelam. Setelah turun dari bus, ia melewati Piazza del Plebiscito yang memutih tertutup salju. Sebuah pohon cemara besar dengan hiasan lampu berkelap-kelip berdiri di tengah-tengah lapangan itu. Lampu-lampu hias yang megah dengan berbagai bentuk yang unik, membuat semua orang ingin mengabadikan pemandangan itu dalam foto.

Kei berjalan dengan hati-hati di atas tumpukan salju yang licin. Uap putih menguar dari mulut gadis itu, setiap kali ia mengembuskan napas. Sesekali ia mengencangkan syal untuk menghangatkan tubuhnya yang menggigil.

Tak jauh dari sana, terdapat deretan toko yang menjual beragam penganan tradisonal yang menjadi ciri khas saat natal. Aroma calzone goreng dengan isian mozzarella dan ricotta begitu menggugah selera. Kue-kue mostaccioli yang beraroma kayu manis dan cengkih tertata apik dengan beragam bentuk. Sayangnya, Kei hanya bisa memandang saja tanpa bisa menikmatinya. Ia tidak tahu pasti kehalalan makanan-makanan itu.

Setiap malam-malam akhir bulan Desember, kota Napoli seperti disulap menjadi negeri dongeng. Kei berhenti sejenak untuk mengagumi kecantikan salah satu tempat terindah di kota itu. Sebuah lampu besar berbentuk kereta kencana dengan warna emas berdiri di salah satu sudut piazza. Hawa dingin tak menyurutkan semangat Kei membuka sarung tangannya untuk mengambil gambar. Beberapa pasangan muda juga terlihat sedang berfoto-foto di tempat itu.

 Beberapa pasangan muda juga terlihat sedang berfoto-foto di tempat itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Assalamualaikum, Sister."

Sebuah suara yang tak asing terdengar menyapa Kei dari arah samping. Spontan gadis itu menoleh ke arah sumber suara.

Mosab.

"Waalaikum salam," jawab Kei sembari memandang dua orang pria yang datang mendekatinya. Mosab berjalan dengan seorang lelaki tinggi berambut coklat, dengan syal yang tertutup hingga ke hidungnya. Setelah beberapa detik Kei baru menyadari, pria di samping Mosab itu tidak asing lagi baginya.

Gabriel? Ada apa dia malam-malam di sini bersama Mosab?

"Buona Sera, Kei." Gabriel menyapa Kei singkat. Ia tersenyum tipis. Tatapannya sangat berbeda dengan saat terakhir kali bertemu dengan lelaki itu.

"Oh, apakah ada hal istimewa hari ini?" tanya Kei sedikit gugup. Meskipun sudah lama tak bertemu Gabriel, tetapi saat melihatnya pertama kali, jantung gadis itu tetap saja berdetak lebih kencang. "Aku tidak tahu kalau ternyata kalian sering bertemu."

"Ah tidak juga, kami juga baru bertemu lagi sore ini," jawab Mosab. "Aku ditugaskan oleh Imam untuk mendampingi Gabriel mempelajari Islam."

"Maksudnya?"

"Apakah kau tidak tahu ada yang bersyahadat tadi sore di masjid?"

"Ya, aku ikut mendengarnya." Kei masih terlihat bingung, tidak berani mengira-ngira apa yang akan disampaikan oleh Mosab.

"Rupanya kita sudah terlalu lama tidak bertemu, ya. Sampai-sampai kau tak lagi mengenali suaraku, Kei." Ujar Gabriel datar.

Ungkapan Gabriel seketika membuat Kei kehabisan kata-kata. Ia merasa seperti sedang bermimpi indah. Perasaan bahagia dan haru meluap-luap di dalam hatinya. Mungkin jika Gabriel adalah seorang perempuan, ia akan segera berlari untuk memeluknya.

"Jadi ... yang tadi itu ...? MasyaAllah ... Alhamdulillah ... Allahuakbar!" Berbagai kata puja puji kepada Allah mengalir deras dari lisan gadis itu. Ini adalah sebuah kabar gembira yang tak pernah ia sangka-sangka. Allah benar-benar memberi hidayah pada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

"Barakallah ... aku ikut senang, semoga kau tetap istiqamah dalam Islam, Brother." Kei mengucapkan selamat dengan mata berkaca-kaca. Ini adalah pertama kalinya Kei menyematkan kata "Brother" pada Gabriel. Hanya satu kata yang sederhana, tetapi mempunyai ikatan yang kuat, yaitu ikatan aqidah.

"Amin ..., grazie."

Kei mengalihkan pandangannya pada Mosab. "I count on you, Brother. Aku yakin kau adalah orang yang tepat untuk mendampinginya belajar Islam," ujar Kei pada Mosab.

"InsyaAllah. Semoga nanti kau juga bisa ikut membantunya."

"Maksudmu ...."

"Ehem!" Tiba-tiba Mosab memotong pembicaraan Kei. "Maaf Sister, sekarang sudah malam. Sebaiknya kau segera pulang."

Kei langsung teringat pada peristiwa tak mengenakkan yang dialaminya saat pulang malam di dekat masjid. Alhamdulillah saat itu ada Mosab yang datang menyelamatkannya. Gadis itu pun berpamitan dan segera meneruskan perjalanannya pulang. Malam itu adalah malam terindah buat Kei. Ia berjalan sembari tersenyum di bawah pohon-pohon yang dihiasi lampu hias. Salju yang dingin pun tak mampu membekukan hatinya yang hangat malam itu.

VESUVIANA - Cinta di ItaliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang