Dua : Midnight [Repub]

23.6K 471 15
                                    

Naila terjaga, perlahan ia membuka kedua netranya. Sekarang ini wajahnya tepat berhadapan dengan paras tampan kekasihnya. Dengan gerakan pelan ia beringsut bangun, berusaha melepaskan diri dari pelukan Zenta. Namun, belum sepenuhnya terlepas, telapak tangan Zenta segera menariknya kembali.

"Mau ke mana, Sayang?" bisik Zenta meraih tubuh sintal kekasihnya lalu memeluknya lembut dan mesra.

"Pulang."

"Ini sudah tengah malam, Nai. Aku tidak akan mengizinkanmu pulang." Zenta kembali mengecupi bahu mulus Naila sambil menggigitnya lembut.

"Zen, apa masih kurang, hah? Sudah berapa ronde, Zen?" tanya Naila sambil menoleh lalu mengusap rambut ikal kekasihnya.

Zenta pun terkekeh pelan mendengar ucapan kekasihnya, "Aku tidak akan pernah puas Nai bila bercinta denganmu, kau tahu itu, bukan?"

Naila menarik napas pelan, kemudian menghembuskannya perlahan. "Zenta, Honey ... Tapi aku harus pulang! Nanti Mas Afkan mencariku kalau aku tidak pulang."

Laki-laki itu tidak menanggapi perkataan kekasihnya, ia justru mengganti topik pembicaraan. "Nai, bagaimana kalau kita kabur saja?! Apa kau mau?" tanya Zenta sambil mengecup mesra punggung tangan kekasihnya.

"Zenta ... Aku serius, Zen! Aku harus pulang sekarang." Naila membelalakkan kedua netranya ke arah kekasihnya.

"Aku juga serius, Nai! Apa kau kira aku bercanda? Asal bibirmu ini mengatakan 'ya', aku akan membawamu kabur." Zenta mengusap bibir Naila dengan ibu jarinya.

"Ck! Susah benar ya bicara padamu!" kata Naila sambil memajukan bibirnya. Zenta pun sontak terkekeh melihat tampang menggemaskan kekasihnya.

"Kenapa, Nai? Apa kau takut dengan suamimu? Aku tidak akan melepasmu, Naila Sayang. Kau tahu apa sebabnya, bukan?" Zenta melumat bibir Naila sekilas lalu kembali melanjutkan kalimatnya, "Karena kau milikku, Nai! Meski kau menjadi istri sah suamimu tapi ... tapi aku Zentaro Alasca yang telah merenggut kesucianmu," tegas Zenta sembari menepuk lembut hidung Naila.

Zenta pun beringsut bangun, bangkit berdiri, kakinya menapak tegas pada lantai marmer, kemudian melangkah menuju mini bar untuk mengambil segelas air. Naila bergeming, ia masih teringat bagaimana pertemuan pertama kali dengan laki-laki arogan di hadapannya sekarang.

"Tidurlah, Nai! Besok aku akan mengantarmu pulang. Sekarang aku masih ingin bersamamu." Zenta meletakkan gelas di atas nakas setelah menenggak habis isinya, ia kemudian menghampiri kekasihnya, melumat sekilas simetris kenyal itu.

"Tidur, ya! Malam ini aku tidak akan menyentuhmu dulu karena milikmu yang di bawah sana pasti masih terluka," ucap Zenta sambil menunjuk dengan dagunya.

Naila berlanjut merebahkan tubuhnya di pembaringan, ia sedang kalut dengan pikirannya. Tubuhnya memang ingin pulang ke rumah, tetapi hatinya masih ingin bersama dengan laki-laki ini.

"Nai ... Sayang! Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Zenta sambil memiringkan tubuhnya, tangan lebarnya pun menopang kepalanya.

"Tidak! Tidak memikirkan apa-apa." Jawab Naila pelan.

"Hm, jangan bohong!" Zenta kembali melumat bibir ranum Naila.

"Emph ...! Emph ...! Zen ...! Sudah, Zen, cukup!" Naila melepaskan tautan bibirnya. Zenta terkekeh lalu sebelah tangannya meremas keras payudara Naila.

"Uhh! Sakit, Zen! Kau sengaja, ya!" kesal Naila berucap sambil memajukan bibirnya serta melirik sebal.

"Aku tidak pernah puas, Sayang, kalau sudah menyangkut urusan bercinta denganmu," jawab Zenta terkekeh menjahili kekasihnya.

Namun, memang benar, Zenta tidak pernah merasa puas menggagahi kekasihnya, meski Naila terlihat dengan perangai lemah lembut tetapi dalam urusan ranjang, hanya Naila satu-satunya wanita yang dapat mengimbangi gejolak berahi seorang Zentaro Alasca.

"Sayang, hisap milikku, mau?"

"Hm, katanya tadi aku disuruh tidur, sekarang minta dihisap. Dasar kau itu, Zen!" cebik Naila dengan wajah ketus. Zenta kembali terkekeh menanggapi cebikan kekasihnya.

"Bibirmu ini, Nai, yang membuatku selalu ketagihan. Kalau di kantor, hanya membayangkan saja bisa membuat milikku ini mengeras."

Zenta menepuk milik-nya yang telah kembali menegang. "Hisap, Sayang! Sudah lama 'kan tidak dihisap sampai aku klimaks?" pinta Zenta dengan mengecup pipi putih kekasihnya.

"Kapan kau itu puasnya, Zen?"

"Aku akan puas kalau setiap hari bisa bercinta denganmu, Sayang! Dan di dalam sini tumbuh benihku," ucap Zenta sembari membelai perut datar Naila. "Ayo, Sayang! Hisap sekarang, milikku sudah keras sekali."

Mendengar permintaan kekasihnya, Naila mulai mengurut batang kejantanan itu, mengurut sambil memutar sebelum ia masukkan ke dalam rongga mulutnya.

"Ouchh, nikmat sekali, Sayang. Hm ... Aku suka, Sayang." Ucap Zenta sambil membelai puncak kepala kekasihnya.

Bibir Naila dengan lincah mengulum milik laki-laki itu dan kedua tangan mengurut sambil sesekali ujung lidahnya bermain nakal pada lubang pelepasannya.

"Ssh ...! Terus, Sayang!" racau Zenta sambil kedua netranya terpejam erat.

Naila kembali mengeluar masukkan penis panjang berurat yang sekarang sedang merekah di dalam bibirnya. Dengan gerakan pelan, tangan mungil Naila mengurut berirama pelan namun semakin lama semakin cepat hingga membuat sang pemilik pusaka mengerang hingga meremas rambut panjangnya.

"Shit! Oughh bibirmu, Sayang! Selalu membuatku melayang." Naila kembali mengeluar-masukkan penis panjang itu hingga ke pangkal laringnya.

"Uhh, Sayang. Nikmat sekali kalau sampai pangkal. Shit! Terus, Sayang!" Zenta kembali meracau.

Naila tahu jika kekasihnya meracau tak beraturan seperti sekarang, tak lama lagi penis berurat yang sekarang sedang merekah pasti akan menyemburkan cairan kentalnya, dan benar saja, tak berselang lama napas Zenta memburu. Laki-laki itu memegang kepala Naila dengan kedua tangannya lalu mengentakkan hingga ke pangkal dan-

Ya, Zenta menyemburkan cairan cintanya di dalam bibir kekasihnya lalu dalam sekejap Naila pun menelannya tanpa merasa jijik. Napas tersengal keluar dari hidung lelakinya, selang beberapa menit napasnya mulai berangsur normal. Naila kemudian ikut merebahkan tubuhnya bersejajar dengan kekasihnya.

"Sudah puas?"

"Untuk sekarang sudah, Sayang!" jawab Zenta terkekeh sembari memeluk pinggang kekasihnya.

"Hanya kau, Nai! Hanya kau yang bisa memuaskanku. Aku suka waktu cairanku keluar, bisa aku rasakan sampai ujung tenggorokanmu, Sayang. Nikmat sekali rasanya."

Naila menatap wajah kekasihnya dalam posisi miring, kemudian mengusap wajah tampan Zenta dengan sangat lembut. "Love you, Zen."

Naila mengecup sekilas bibir lelakinya. "Aku tidur, ya! Jangan minta lagi! Lelah, Sayang, bibir sama yang di bawah sini."

Zenta terkekeh sambil mengecup puncak kepala kekasihnya lalu memeluk mesra dan ikut terlelap dalam buaian mimpi.




















Repub. ᎳᏆᏞᏞ ᎠᏆᏟᎻTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang