Tujuh : Warm Welcome [Repub]

16.1K 328 1
                                    

Benda berbentuk bundar berbunyi nyaring, waktu menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit, dan dari arah luar terdengar suara bocah berumur tujuh tahun sedang memanggil manja sang ibunda tercinta.

"Nai, bangun, Sayang! Sudah pagi." Zenta mencium kening wanitanya yang masih terlelap.

"Itu lho ... kau sudah dipanggil-panggil Zovan diajak sarapan." Zenta menyelimuti tubuh telanjang Naila, posisi tidurnya pun tengkurap efek semalaman lelaki itu menggagahinya tanpa ampun, akibat Naila akan memberi kabar kepada suaminya.

"Hoam ...! Mataku masih berat, Zen. Aku masih lelah, semalam kau gila-gilaan bercinta tidak ada berhentinya," cebik Naila bernada kesal, ia pun kembali memejamkan netranya.

Zenta terkekeh mendengar ucapan kekasihnya. "Makanya jangan suka membuatku cemburu, Sayang! Tahu sendiri 'kan akibatnya."

"Dasar!" cebik Naila lagi.

"Sekarang saja sudah perkasa lagi, Sayang!" Zenta membawa tangan kekasihnya ke pangkal pahanya, di sana sang pusaka telah berdiri tegak bak Tugu Monas.

"Zen, nanti antarkan aku ke dokter kandungan, ya?" pinta Naila mengalihkan pembicaraan, sambil menarik tangannya.

"Ya, Sayang. Bangun, gih! Sarapan lalu ikut aku." Zenta mengecup puncak kepala Naila, lalu beringsut bangun tanpa mengenakan sehelai benang pun.

"Ke mana, Zen?" tanya Naila, tangannya mengusap netranya.

"Melihat rumah baru," ucapnya sambil membuka benda berbentuk persegi yang terdapat di atas nakas. Tubuh Zenta yang masih telanjang memperlihatkan otot perut sixpack-nya.

Mendengar penjelasan lelakinya, tak ayal membuat Naila menoleh, terduduk, dan selimut yang menutupi tubuh telanjangnya pun merosot. Sontak hal itu membuat Zenta seketika memandang lekat ke arah Naila. "Sayang, kenakan bajumu! Jangan pamer payudara di depanku, aku suka tidak tahan kalau melihatmu telanjang, ingin langsung menaikimu."

Bugh!

Terdengar suara benda empuk jatuh ke lantai. Naila melempar bantal dengan gemas, ia merasa kesal terhadap nafsu besar yang dimiliki lelakinya. Zenta pun terkekeh karena ulah Naila yang melempar bantal mengenai wajah tampannya. "Benar 'kan? Aku itu tidak akan pernah puas, Nai. Sebelum kau hidup serumah denganku."

"Itu tadi lho, Zen, katamu mau melihat rumah, rumah apa lagi?" tanya Naila mengalihkan topik pembicaraan sembari menekuk wajahnya.

"Rumah baru, Nai. Yang lebih besar dari rumah ini. Kan nanti akan ada Naila kecil," ucap Zenta, sembari jemarinya menari-nari adi atas keyboard dan setelah menemukan artikel yang dicari, ia segera membawa benda tersebut di mana Naila berada.

"Ini, lihat! Ini rumahnya. Aku sudah membayar fee kemarin," ucap Zenta sambil sekilas mencium bibir Naila.

"Aku ingin kau selalu bahagia, Nai. Maafkan aku kalau rasa cintaku padamu terkadang membuatmu tersiksa, dan terkekang." Zenta membelai pipi putih wanitanya, Naila memandang wajah kekasihnya dengan tatapan cinta. "Iya, Zen. Aku mengerti."

"Hanya kau, Nai. Hanya kau satu-satunya perempuan yang tidak pernah memandangku dengan sebelah mata sewaktu aku miskin, karena itu aku sangat mencintaimu, Sayang." Zenta mengecup punggung tangan Naila. "Aku tidak akan pernah lupa Nai dengan peristiwa dulu, peristiwa di mana kau nekat melakukan bunuh diri karena dilarang bertemu denganku."
Naila menangkup kedua pipi kekasihnya, lalu menciumnya mesra. "Sudah ya, Zen. Jangan membahas masalah dulu. Aku sekarang sudah memilikimu serta Zovan dan sebentar lagi akan ada si kecil ini. Aku tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi," tutur Naila sembari membelai perut datarnya.

"Mandi, gih! Aku mau keluar sebentar, mengajak Zovan main." Zenta kembali mengecup mesra kening Naila, kemudian bangkit berdiri, mengenakan jubah tidurnya, melangkah menuju pintu, melebarkan, lalu menutup daun pintunya sedikit. "Sayang, sini, Nak! Ayo, main dengan Daddy sebentar!" teriak Zen mengajak putranya bermain.

Naila memperhatikan dari celah pintu di mana Zenta menjauh, menghampiri putranya. Ia lalu meraih ponsel dan menekan nomor yang dikehendaki, tak berselang lama terdengar suara seorang pria.

Tut tut tut!

"Halo?"

"Mas? Mas Afkan?"

"Naila?"

"Iya, Mas. Ini Naila. Mas, maaf baru bisa memberi kabar padamu, Mas. Naila ada urusan kantor mendadak jadi harus ke luar kota," bohong Naila dan ia berusaha berkata sedatar mungkin supaya aksi bohongnya tidak ketahuan.

"Mas khawatir, Nai. Mas mengira kau kenapa-napa."

"Maaf, Mas. Maafkan Naila, Naila baru ada waktu untuk menghubungimu, Mas. Ponsel Naila low battery. Maafkan Naila, Mas!"

"Iya, tidak apa-apa, Nai. Lalu bagaimana urusanmu sekarang, sudah selesai belum? Kapan pulang?"

"Belum tahu, Mas. Nanti kalau mau pulang Naila akan memberi kabar ke Mas Afkan. Hm, Mas sudah dulu, ya! Taksi Naila sudah sampai. Bye, Mas Afkan."

Klik! Naila cepat-cepat menutup gawai itu lalu meletakkannya di atas nakas karena ia melihat Zenta sedang berjalan menuju ke kamar.

"Lho, Nai. Belum mandi? Disuruh mandi malah melamun, apa mau aku mandikan?" Zenta menggoda kekasihnya, mengerling dengan tatapan nakal seperti biasanya.

"Ah, mandi denganmu malah batal mandi, yang ada kau minta bercinta lagi," cebik Naila sambil memperlihatkan wajah gemasnya.

"Memang itu, Nai, yang kuharapkan." Zenta terkekeh menanggapi perkataan Naila.

"Ya sudah, aku mau mandi dulu, Zen. Setelah ini aku mau membelikan sesuatu untuk mama." Naila beringsut bangun dan tubuh sintal yang masih telanjang membuat Zenta tidak tahan untuk tidak menyentuhnya.

"Aku ikut mandi, Sayang, sambil satu ronde lagi di bathroom." Zenta segera membopong tubuh sintal kekasihnya menuju bathroom tanpa memedulikan Naila yang berteriak kencang sambil memukul punggungnya keras.

"Ampun, Zenta! Milikku masih lecet perih-perih, Zen."

"Nanti aku hisap dulu seperti biasa sampai kau meleleh baru kutusuk. Sudahlah, Nai! Turuti saja! Diberi yang nikmat-nikmat itu setuju saja," ucap Zenta terkekeh sambil mendorong pintu bathroom.

"Dasar, Zenta! Ya Tuhan, kapan derita ini akan berakhir?" ucap Naila sambil menangkupkan kedua tangannya di udara.

"Hahaha ... Sampai tua, Sayang. Sampai maut memisahkan kita." Zenta terkekeh keras sembari menutup pintu bathroom.


















Repub. ᎳᏆᏞᏞ ᎠᏆᏟᎻTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang