Sepuluh : Will Dich [Repub]

12.7K 311 1
                                    

Cintamu tak lekang oleh waktu.
Cintamu tanpa syarat.
Setiap waktu selalu menginginkanmu.
Selalu menginginkan cintamu.
Zenta, cintaku padamu takkan pernah padam.
Aku mencintaimu. ~Naila.

💜 💙 💜 💙

Terlihat kendaraan sport bermerek bentley berhenti pada salah satu clothing store, pintu otomatis terbuka, tak berselang lama muncul sesosok laki-laki keluar dari dalam membawa bungkusan. Zenta masuk ke dalam mobil setelah membeli baju untuk kekasihnya. "Ini!" Ia memberikan kantong plastik berisi pakaian untuk mengganti baju Naila yang tadi dirobeknya.

Naila menerima kantong plastik tersebut, membukanya lalu segera mengganti bajunya yang robek. "Kau itu kebiasaan kalau marah pasti bajuku yang menjadi sasaran," cebik Naila sembari memukul gemas lengan kekar Zenta.

"Biar saja! Salah siapa, kau sudah membohongiku?" sahut Zenta tidak mau kalah.

"Memang kalau tidak berbohong, apa aku boleh menghubungi Mas Afkan?" tanya Naila datar, tanpa menatap wajah lelakinya.

"Sudahlah, Nai! Jangan menyebut nama Tua Bangka itu di hadapanku! Aku muak, Nai. Aku tidak suka kau selalu menyebut nama suamimu!"

"Iya ... iya .... Maaf," jawab Naila dengan wajah memelas serta intonasi suara rendah.

"Kau itu milikku, Nai. Suamimu yang sudah merebutmu dariku. Kena karma 'kan dia sekarang, lumpuh. Cinta itu hadir dengan sendirinya, Naila, tidak ada cinta itu hadir dengan ancaman atau paksaan," jelas Zenta sembari menghidupkan mesin mobil lalu melajukan mobilnya menuju jalan besar.

"Makanya aku jadi suka marah-marah, suka cemburu kalau kau masih bersikap baik dengan suami tuamu itu. Jangan hanya mengingat kebaikannya saja, karena dia sudah membantu keuangan keluargamu yang sedang terpuruk, Nai. Tapi ingatlah keburukannya juga, dia mau membantu keuangan keluargamu asal kau mau diperistrinya, sedangkan waktu itu dia sudah memiliki dua istri. Laki-laki macam apa dia? Serakah sekali! Apa karena dia kaya, banyak uang, lalu bisa semena-mena dengan wanita, memilih banyak wanita semau dia untuk diperistri?" gerutu Zenta tanpa jeda sedikit pun.

Hanya dalam hitungan detik mendadak saja laki-laki bertubuh atletis itu berseru marah, "Shit! Argghhhh!" Zenta menghentikan mobilnya tiba-tiba, ia menoleh menatap lekat wajah istrinya, sambil melanjutkan kata-katanya, "Karena aku masih memandangmu, Nai. Jadi aku tidak menemui suamimu. Coba aku tidak memandangmu, sudah pasti aku menonjoknya," ucapnya geram. Naila bergeming, ia teediam tanpa berani membalas ucapan lelakinya, kepalanya tertunduk menatap ke arah pangkuannya.

"Nai?" panggil Zenta sembari menyentuh lengan istrinya, Naila menoleh, menatap lekat paras tampan prianya. "Izinkan aku menemui suamimu. Aku ingin dia mau melepasmu. Dia belum tahu tentang Zovan 'kan? Boleh ya?" pinta Zenta sembari menatap lembut wajah wanitanya penuh permohonan.

"Tapi, Zen, bagaimana dengan Papi?" tanya Naila khawatir.

"Biar nanti aku yang membantu." Zenta memotong pembicaraan.

"Tidak akan mau, Zen. Orang tuaku itu rasa gengsinya tinggi, apalagi mereka akhirnya tahu kalau kau yang memberiku donor organ ginjal baru," sambungnya bernada pilu, Naila juga mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Ia menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. "Entahlah, Zen. Bila membahas masalah ini, aku rasanya ingin mati saja, tidak ingin hidup lagi."

Zenta membelai lembut puncak kepala wanitanya sambil mengecupnya mesra. "Nai ... jangan menyerah dan putus asa, masih ada aku, Mama, dan anak kita," katanya menenangkan. "Ya sudah, kita bahas itu nanti. Sekarang aku mau tahu kondisi Zeva dulu." Zenta kembali melajukan mobilnya ke jalan.

Mobil Zenta tiba di Rumah Sakit Month Elizabeth, ia kemudian keluar dari mobil dan memutar ke tempat Naila, membuka pintu lalu membimbing kekasihnya turun.

"Aku bisa sendiri, Zen," ucap Naila sembari membelalakkan kedua netranya menatap sebal. Zenta terkekeh, melihat sikap sebal istrinya. "Apa kau tidak mau kumanjakan lagi, Nai?"

Naila merasa serba salah ketika Zenta dibakar api cemburu, ia pun mengatakan kalimat cinta agar amarah cemburu lelakinya mereda. "Love you, Zen. Love you so much!" Naila mengecup sekilas bibir prianya.

"Uhh, Sayang, yang di dalam celana langsung tegang saja!" kata Zenta sambil menunjuk menggunakan kedua netranya.

"Ish! Kau itu, Zen, selalu masalah tegang-menegang saja yang dibahas," cebik Naila sambil memukul gemas lengan lelakinya, membuat laki-laki itu terkekeh renyah.

Zenta menutup pintu mobil dengan smart lock lalu menggandeng mesra tangan wanitanya. Keduanya berjalan menuju rumah sakit, mengantri di depan lift untuk menuju ke lantai atas di mana dokter kandungan Naila berada. Sewaktu pintu lift terbuka, seketika itu pula Naila melepaskan tangan kekasihnya.

"Lho, Naila? Apa kabar? Kenapa di sini, apa kau sakit?" tanya sesosok wanita paruh baya kepadanya.

"Eh, hm ... tidak, Tante. Naila tidak sakit, tapi itu hm ... mau menjenguk teman." Suara Naila terdengar kikuk dan dia tidak tahu bagaimana harus bersikap, karena ia tidak menyangka akan bertemu kolega suaminya.

"Oh ... lalu ke sini dengan siapa, Nai?" tanya wanita itu lagi sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Sendiri saja, Tan," sahutnya tersenyum sambil berusaha menyembunyikan mimik muka terkejutnya.

"Suamimu tahu tidak kalau kau di Singapura, Nai?" lanjut wanita itu masih bertanya dengan rasa penasaran yang tinggi.

"Tahu, Tan," jawab Naila singkat. Lalu untuk mempersingkat tanya jawab yang sedang berlangsung, Naila memutus ucapannya, "Hm, Tan ... Maaf, Naila mau ke atas dulu ya, nanti takut jam besuknya selesai," ucap Naila lekas masuk ke dalam lift, meninggalkan wanita paruh baya itu, yang masih menatapnya curiga.

Setelah menenangkan debar jantungnya, Naila baru menyadari jika raut wajah kekasihnya begitu penuh amarah. "Zen?" panggilnya pelan. Naila hendak memegang tangan kekasihnya, namun Zenta segera menepisnya kasar. Pintu lift terbuka dan keduanya pun keluar.

"Zenta," panggil Naila sambil menyentuh tangan lebar kekasihnya dan laki-laki bertubuh atletis itu kembali menepis tangannya. Langkah kaki Naila seketika terhenti. "Zen, maafkan aku, Zen! Sungguh aku tidak ingin seperti ini. Dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat ingin mengakui bahwa kau suamiku, Zen. Please, Zen! Maafkan aku!" Lalu tubuhnya merosot ke lantai, terduduk lemah sembari menangis terisak.

Zenta menghentikan langkahnya, namun tubuhnya masih pada posisi membelakangi istrinya. Laki-laki itu mengembuskan napasnya kasar. "Apa susahnya Nai kau mengatakan kalau aku ini suamimu?" kata Zenta bernada kasar.

"Zenta, please! Tolong ... mengertilah! A-aku ... A-aku ... Maafkan aku, Zen!" Hanya kata maaf yang akhirnya keluar dari bibir Naila.

"Nai, aku tidak membutuhkan kata maaf darimu, tapi aku membutuhkan pengakuanmu. Kenapa sekarang kau malu mengakui kalau aku kekasihmu, atau lebih tepatnya suamimu, hah?! Dulu kau tidak pernah malu mengakui kalau aku ini kekasihmu. Padahal aku dulu miskin, tidak punya apa-apa," serunya panjang lebar dengan intonasi tinggi.

"Zenta ... Tolong, mengertilah," lirihnya lemah. Pandangan Naila mulai kabur, sosok sang kekasih yang dipandangnya semakin lama semakin gelap. Ya, Naila tiba-tiba tidak sadarkan diri, tubuhnya terkulai, limbung jatuh ke lantai.

"Astaga, Nai!" Ia pun terkejut setelah mendapati tubuh istrinnya tergolek lemas tak berdaya pada lantai rumah sakit.



























Repub. ᎳᏆᏞᏞ ᎠᏆᏟᎻTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang